Rabu, 21 Desember 2016

CONTOH ULASAN KEGIATAN BEDAH BUKU TRIYANTO TRIWIKROMO | UPGRIS BERSASTRA 2016

Memanusiakan Manusia dalam UPGRIS Bersastra



     Sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang menggunakan bahasa sebagai medianya, baik secara tertulis maupun lisan yang bersifat imajinatif, disampaikan secara khas dan mengandung pesan yang sifatnya relatif.
     Berbicara tentang sastra memang tidak akan terlepas dari bahasa. Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Diriwayatkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Indonesia sebelum Bangsa Indonesia merdeka. Tercatat dalam Ikrar Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Dalam ikrar tersebut dituliskan bahwa “ Kami putra- putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Berpacu pada ikrar Sumpah Pemuda tersebut, maka di Universitas PGRI Semarang selalu memperingati bulan Oktober sebagai bulan bahasa. Terutama para mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS)  yang selalu merayakannya setiap tahun.
     Pada kesempatan kali ini, tepatnya Rabu, 19 Oktober 2016, Universitas PGRI Semarang, khususnya untuk mahasiswa FPBS menggelar sebuah acara spektakuler dan mendidik, sebagai rangkaian dari acara peringatan Bulan Bahasa. Acara tersebut diberi judul UPGRIS Bersastra. Yang bertemakan tiga buku, tiga pembaca, tiga kritikus, dan satu pengarang. Dalam acara UPGRIS Bersastra kali ini mendatang kan seniman kondang, yaitu Triyanto Triwikromo. Beliau adalah seorang pengarang buku, di mana dalam acara  kali ini, buku beliaulah yang dibedah/ diulas. Berikut sekilas profil dari Triyanto Triwikromo.
    Nama lengkap Triyanto Triwikromo, lahir di Salatiga, 15 September 1964. Beliau menjabat sebagai seorang redaktur, dosen, penulis cerpen, juga penganggit puisi. Nama Triyanto Triwikromo mulai dikenal setelah 30 tahun berkarya, berkat penghargaan yang diperolehnya, yaitu Anugrah Tokoh Seni Tempo 2015, setelah menulis buku kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirya. Istilah tiga buku, tiga pembaca, tiga kritikus, dan satu pengarang mengandung maksud bahwa ada tiga buku karangan Triyanto Triwikromo  yang akan dibedah, yaitu: Selir di Musim Panas, Bersepeda ke Neraka, dan Sesat Pikir Para Binatang . Tiga pembaca yang membacakan karya Triyanto Triwikrama, yaitu bapak Rektor Upgris Dr. Muhdi, S.H., M.Hum. dengan puisi yang berjudul “Takziah” dan “Mereka Memalsukan Kisah”. Pembaca yang kedua adalah wakil rektor 1, yaitu ibu Dra. Sri Suciati, M.Hum. dengan puisi yang berjudul “Selir di Musim Panas”. Yang ke tiga adalah Biskuit time.
     Kemudian terdapat tiga kritikus yang membedah ketiga buku tersebut yaitu Pak Nur Hidayat. Menurut Hidayat, Triyanto merupakan penulis yang melampaui batas, di mana karya yang ditulis melampaui jalur atau aturan yang berlaku. Sehingga pembaca yang tekun, tabah, dan banyak literatur  yang dapat untuk memahami buku atau karya Triyanto ini. Pembaca yang baik mencoba melengkapi dirinya dengan banyak literatur.
     Pras Setya Utama yang mengulas buku Bersepeda ke Neraka. Menurut Pras Setya untuk memahami karya Triyanto dengan menggunakan teori struktural genetik ( menurut pak rektor) tidak begitu efektif, teori interteks kulturalitas lah yang pantas digunakan  untuk mengartikan atau memaknai kaya Triyanto. Ada tokoh latar alur sebagian besar karyanya itu wajar, namun ada yang sudah kabur batas antara puisi dan cerpen. Puisi yang mirip cerpen, dan sebagainya. Merusak tatanan cerpen/ puisi(  Triyanto menciptakan teks- teks baru ).
     Widyano Ari Eko mengulas buku tentang Selir di Musim Panas. Menurut Ari Eko semua buku karya Triyanto saling berkaitan satu sama lain, untuk memahami satu buku karangannya (contoh buku Selir di Musim Panas) harus membaca 4 buku lain untuk bisa memahaminya. Sebuah buku Triyanto dibentuk oleh buku- buku lainnya.
Diskusi bedah buku yang dipandu oleh Dr. Harjito ini berjalan sangat apik dan lancar, meskipun masih banyak hal yang belum sempat didiskusikan karena terbentur masalah waktu.
     Dalam acara tersebut diselingi pula dengan penampilan beberapa sastrawan Upgris seperti musikalisasi puisi oleh Biskuit Time, tarian balet, dan lain- lain. Suasana panggung yang apik, penonton yang mendukung serta penampilan- penampilan pembicara yang memukau membuat acara UPGRIS Bersastra ini sangat spektakuler.
     Ini bukan kali pertama Upgris menggelar acara dalam rangka peringatan bulan bahasa. Namun, setiap tahunnya Upgris selalu memberikan yang terbaik untuk acara tersebut sebagai bukti kecintaannya terhadap bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Terbukti salah satu acara pembukaannya kali ini yaitu UPGRIS Bersastra dapat berjalan dengan sempurna tanpa halangan suatu apa pun. Semoga acara seperti ini dapat terus dikembangkan bukan hanya di lingkungan Upgris tetapi seluruh masyarakat Indonesia turut berpartisipasi.
     “Menulis adalah bagian terindah dalam hidup saya. Dan menjadi sastrawan bukan hal yang keren, tetapi berlomba menjadi manusia yang pada dasarnya bukan apa- apa.  Buku saya telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, bahasa Swedia, bahasa Jerman, dan lain- lain. Pada tanggal 26 Oktober nanti saya akan menghadiri  forum internasional. Di sana nanti akan ada tiga teks yang akan saya sampaikan, dan hari ini  akan saya baca cuplikannya untuk Anda semua. Pertama, setiap sejarah punya luka- lukanya sendiri juga sejarah kita yang tak punya rumah sakit lagi. Kedua, agama dijadikan alat untuk melukai. Terakhir, jika bunuh diri menjadi agama yang paling cocok, siapakah Tuhanmu?” ujar Triyanto di pengujung acara. Beliau merasa terharu karena selama 30 tahun berkarya baru kali ini karyanya diapresiasi secara khusus.
     “ Kehidupan berawal dari kematian” ujar Triyanto ketika pembawa acara bertanya mengapa dalam karyanya banyak menceritakan kematian, “ kita semua adalah binatang yang berlomba- lomba untuk menjadi manusia” tambahnya kembali ketika pembawa acara bertanya mengapa banyak tokoh binatang juga dalam karyanya. Dari jawaban tersebut dapat dimaknai bahwa kehidupan ini berawal dari kematian, di mana yang semua tiada menjadi ada. Dan kita adalah binatang yang berlomba- lomba menjadi manusia yang artinya kita bukan apa- apa sampai kita berusaha, berlomba- lomba untuk menjadi sesuatu, yaitu manusia yang bermutu, yang sejati dan berbudi luhur. Melalui sastra kita dapat membuat manusia menjadi manusia yang benar- benar manusia.
     Semoga beberapa lembar susunan kata-kata ini bisa bermanfaat bagi para pembaca yang berkenan meluangkan waktunya untuk membacanya. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar