Senin, 25 Desember 2017

Resensi buku My Public Speaking Karya Hilbram Dunar


Belajar Bicara dari Dunar Sang Raja Speaking

Judul Buku                  : My Public Speaking
Pengarang                   : Hilbram Dunar
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : 21 Desember 2015
Tebal Buku                  :  196 halaman
Bahasa                         : Indonesia
ISBN                           : 978-6020323824
Buku Karya Dunar      : Main Hati, Plastic Effect, My Public Speaking.

Tentang Pengarang     :
Hilbram Dunar lahir Banda Aceh pada 30 Oktober. Dunar adalah seorang pembawa acara televisi, penyiar radio, MC, dan entertainer asal Indonesia dan telah banyak di kenal sebagai presenter acara Grand Prix Formula 1 di RCTI, MNCTV, Global TV dan talk show Metro TV dan tvOne. Bungsu dari 3 bersaudara ini lahir ketika ayahnya yang berdinas di Kejaksaan Tinggi bertugas di kota tersebut. Ayahnya asli dari Padang, Sumatera Barat, sedangkan ibunya asli Yogyakarta. Sebagai seorang Jaksa karier, ayahnya kerap berpindah mengikuti penugasan. Setelah bertugas di Banda Aceh, mereka pindah ke kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Di kota ini Hilbram Dunar bersekolah hingga kelas TK. Selanjutnya ayahnya dimutasi ke Jakarta. Semenjak itulah mereka menetap di Jakarta hingga saat ini.
Hilbram Dunar selain sebagai penyiar di berbagai radio, juga aktif mengisi acara baik sebagai MC, Host, presenter dan bahkan memiliki acara sendiri di salah satu stasiun TV swasta. Kegagalan dalam mencapai cita-cita awalnya yaitu menjadi seorang Rock Star, membuatnya sadar bahwa ada satu keahlian yang semestinya dimiliki setiap orang apapun bidang yang ditekuninya.

Sinopsis                       :
My Public Speaking ditulis berdasarkan pengalaman Dunar selama dua belas tahun menjadi seorang pembicara. Bermula sebagai penyiar di MS Tri FM, karier Dunar melejit dan membawanya menjadi penyiar di sejumlah radio ternama di Indonesia seperti Hard Rock FM, Cosmopolitan FM, dan Motion FM. Selain di radio, Hilbram pun kemudian juga menjadi host di program yang tayang di SCTV, Global TV, RCTI, Trans TV, TVRI, TV One, O Channel, dan Metro TV.
Buku ini berisi kiat jitu agar Anda memiliki kemampuan public speaking yang tepat. Sehingga apa pun jenis acaranya, seperti mengawal seminar, menjual suatu produk, atau menginformasikan berita, Anda bisa tampil maksimal dengan penggunaan teknik yang benar. Berbagai tips yang dikemukakan Dunar dapat melatih kreativitas, mengatur grogi, dan mengenali komunikan dengan tepat. Selain kemampuan berbicara, buku My Public Speaking juga mengajarkan cara bertanya, menjawab, sampai penggunaan bahasa tubuh yang meyakinkan.
Dalam buku ini, Dunar juga berbagi teknik menjadi pembawa acara televisi, penyiar radio dan master of ceremonies. Buku ini juga memiliki bab ekstra tentang “Berkarier di Dunia Hiburan.” Dalam bukunya Dunar mengatakan bahwa:
Berbicara di depan umum bukan hanya sekadar berdiri di depan orang, lalu bicara melalui microphone. Karena kita harus mampu membuat semua orang mendengar, percaya, lalu mau melakukan apa yang kita inginkan.” (Halaman 20) 
Memang Public Speaking ini bisa cukup gampang dilakukan bagi orang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Namun hal penting yang harus diingat bahwa kita tidak hanya harus berbicara, namun juga mengajak orang lain untuk memercayai dan melakukan apa yang kita bicarakan.

Tentang Buku             :
Banyak buku Public Speaking yang dijual di Gramedia. Tetapi buku ini istimewa dibanding dengan buku lainnya, karena buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Dunar sendiri. Buku ini mengajarkan bagaimana kita dapat berbicara dengan baik tanpa mengubah diri kita menjadi orang lain.
Bahasa yang digunakan Dunar dalam bukunya ini sangat sederhana dan menyenangkan. Sangat mudah dipahami oleh pemula. Gaya penyampaian yang asyik mampu membuat pembaca selalu tertarik untuk membacanya hingga akhir. Tidak terlalu banyak teori, Dunar menyampaikannya dengan pasti berdasarkan pengalamannya dan yang pasti dialami banyak orang yang berbicara di depan umum. Solusi yang diberikan juga logis, serta mudah diterapkan, tidak terlalu ribet.
Dibandingkan dengan buku speaking lainnya, buku ini tentu lebih baik. Baik dalam segi tampilannya maupun bahasa dan muatan yang disampaikan. Tampilan buku ini sangat menarik dan tidak membosankan, disertai dengan gambar- gambar sehingga tidak membuat pembaca jenuh. Bahasanya yang santai dan asyik ini membuat orang yang membacanya serasa bercakap langsung dengan pengarang. Tidak seperti kebanyakan buku speaking yang terlalu formal bahasanya dan sulit untuk dipahami.
Hal lain yang menarik sekaligus menjadi kelebihan dari buku ini adalah di akhir bab, Dunar menyampaikan pula tentang “ Berkarier Dalam Dunia Hiburan”. Tentu ini sangat membantu bagi pemula yang ingin melebarkan sayapnya untuk berkiprah di dunia hiburan. Mengingat Dunar telah memiliki banyak pengalaman dalam hal berbicara di depan umum yang telah dibuktikan dalam pengalamannya itu, tentu saja kita tidak perlu ragu untuk mencoba meniru tips dari Dunar tersebut.
Bukankah pengalaman itu tidak harus diri sendiri yang mengalami? Maka tidak ada salahnya kita sebagai calon guru membaca buku ini agar kita dapat memberikan ilmu kita kepada peserta didik dengan penuh wibawa, tepat sesuai materi, dan dimengerti oleh peserta didik dengan kita menggunakan teknik berbicara yang baik dan benar. Bukan asal bicara dan kosong tanpa muatan apapun di dalamnya.
Buku ini tidak hanya memberi tahu kita ilmu dan tips umum seperti yang buku public speaking umumnya berikan. Namun, buku ini menjelaskan cerita perjalanan karier Hilbram Dunar dalam yang membutuhkan keterampilan berbicara di depan umum. Serta terdapat tips kusus tentang bagaimana Dunar menghadapi dan menyelesaikan kekhawatiran ketika sedang tampil di depan banyak orang.
Banyak hal baru yang diperkenalkan Dunar dalam buku ini yang dapat membantu kita dalam mengatasi permasalahan ketika akan tampil di depan umum, atau setidaknya memberikan kita gambaran tentang cara yang dilakukan oleh Public Speaker ketika menghadapi permasalahan mereka masing-masing. Namun demikian, saat membaca buku ini terasa ada pengulangan informasi yang mengganggu di beberapa bagian. Salah satu contoh ketika Dunar menekankan berkali-kali tentang keharusan merebut perhatian pendengar dan membuatnya percaya serta melakukan apa yang diinginkan dengan bahasa yang serupa. Memang hal tersebut sangat penting, namun seharusnya pengulangan tersebut bisa disampaikan dengan cara berbeda atau dikaitkan dengan hal lain yang tidak kalah pentingnya dan menggunakan gaya bahasa yang berbeda dalam penekananya.

Nilai Buku:
Buku ini berguna bagi kalian yang ingin mempunyai keterampilan berbicara yang baik di depan umum, bagi kalian yang masih merasa canggung dan grogi ketika berbicara di depan umum.
Namun dari semua saya tuliskan ini tergantung pada pembaca yang ingin menambah wawasan tentang berbicara atau tidak. Apapun yang ada dalam buku ini tentunya sangat bermanfaat bila kalian memang membutuhkan ilmu yang akan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam berbicara di depan umum.
Demikian yang dapat saya tuliskan semoga bermanfaat. Buku ini bias kaian dapatkan di Gramedia seharga Rp62.000,  00 saja. Sungguh harga yang murah untuk sebuah ilmu dan pengalaman besar bukan?


CATATAN PERJALANAN DI KOTA TIONGKOK KECIL HERITAGE

Destinasi Wisata Kota Tiongkok Kecil Heritage Di Kota Santri Lasem


Berbicara tentang hidup dan kehidupan tidak akan lepas kaitannya dengan persoalan dunia dan akhirat. Dunia yang menyajikan segala bayangan tentang suatu hal yang indah dan selalu diharapkan, mesikipun pada akhirnya dunia akan ditinggalakan. Sedangkan akhirat adalah sesuatu yang terlupakan tetapi akan menjadi tujuan. Dalam kehidupan kita memiliki budaya. Kita berbudaya! Sebuah budaya terbentuk karena suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut lahir karena masyarakat sekitar terus mengulang suatu kebiasaan yang sama hingga membudaya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda di sebuah kota kecil Lasem. Lasem merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam lingkup kabupaten Rembang. Kota kecil tersebut telah dikenal luas dengan berbagai sebutan, seperti, Kota Batik, Kota Seribu Santri, Kota Tiongkok kecil Heritage. Bila dilihat dari sebutan yang dimiliki, elemen yang terkandung dalam sebutan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti halnya Kota Seribu Santri dengan Kota Tiongkok Kecil Heritage. Lalu mengapa keduanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suatu lingkungan yang tidak begitu luas secara rukun dan damai. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menjelajahi kota kecil ini.
Minggu lalu, tepatnya pada hari Sabtu, 2 Desember 2017, saya berseta teman saya Riska Villa Sari memutuskan untuk mengobati rasa penasaran kami akan kota kecil yang menurut kami unik ini. Perjalan kami tempuh selama kurang lebih tiga setengah jam dengan menaiki bus antarkota Semarang- Surabaya ber- AC dengan tarif biasa, yaitu 22 ribu rupiah. Kami memutuskan untuk berangkat pada saat matahari masih malu menampakkan sinarnya, sekitar pukul 04.30 dari Terminal Terboyo Semarang dan sampai di Lasem pada pukul 07.40. Kami memilih untuk berangakat di pagi hari agar kami mempunyai waktu yang panjang untuk menjelajahi seluk beluk kota ini.
Ketika memasuki kota Lasem, satu hal menarik telah saya dapati. Hamparan luas sawah garam menyapa kami pagi itu. Burung-burung yang menari diatasnya semakin memperindah pemandangan. Ketika mata ini mengarah ke depan, terlihat deretan bukit yang panjang membentang biru. Saya bertanya kepada salah seorang di samping saya yang kebetulan dia adalah orang Rembang, Mas Sugeng namanya. “ itu masih termasuk bagian dari daerah Lasem, Mbak! Tetapi bukan semua, hanya sebagian. Namun, dari ujung sana samapai ujung sana, semua itu masih termasuk wilayah Rembang” terangnya.
Saya semakin penasaran akan kota ini. Terlebih lagi ketika mas Sugeng menegaskan kembali jika kita berada di pantai, kita bisa melihat gunung, dan ketika kita digunung kita bisa melihat pantai. Sejujurnya itu adalah pernyataan yang cukup menngelitik pikiran dan telinga. Namun, ketika saya renungkan ternyata benar, karena tidak semua tempat yang mempunyai gunung tinggi, kita bisa melihat laut dari atasnya ataupun sebaliknya. Ini salah satu keunikan yang kami temukan.
Setibanya di Lasem, kami menginap di sebuah Home stay ( penginapan ) yang cukup unik. Bukan seperti penginapan yang lain. Namun, penginapan ini telah menunjukkan keunikan kota Lasem sebagai Kota Tiongkok Kecil Heritage. Bagaimana tidak? Penginapan yang kami tempati adalah salah satu bangunan etnis tionghoa yang dimodifikasi dan digunakan sebagai tempat penginapan yang unik sesuai dengan ciri khas kota Lasem. Ketika dalam perjalanan menuju penginapan tersebut, kami disuguhi dengan deretan tembok putih permanen yang memanjang dan menjulang tinggi mengelilingi rumah- rumah warga. Setelah saya bertanya, ternyata tembok tersebut adalah tembok yang mengelilingi rumah- rumah warga etnis tionghoa. Bentuk rumah mereka tidak terlihat dari luar. Gerbang masuknya pun tidak terlalu lebar, dan terbuat dari kayu.
Sesampainya di penginapan, saya melihat ada nuansa yang berbeda. Bangunannya merah, dan diselingi warna- warna lain seperti kuning, jingga, putih. Ternyata itulah penginapan yang akan kami tempati untuk bermalam di Kota Lasem. Omah Abang, itulah nama penginapan tersebut. Terletak di salah satu kampung pecinan yang ada di Lasem, yaitu Desa Karang Turi—saya katakan salah satu kampung pecinan karena ada banyak kampung pecinan di sini, yaitu di Desa Karang turi, Desa Babagan, dan Desa Soditan. Sungguh saya merasa takjub. Arsitektur bangunannya sungguh kental sekali dengan ciri khas tionghoa, dari pewarnaan bangunannya, detail pernak- perniknya seperti lampion dan makan menggunakan sumpit, hingga properti yang disediakan sangatlah kental dengan nuansa tionghoa.
Bukan sekadar menyediakan fasilitas untuk menginap. Namun, di sini juga terdapat warung- warung yang menyediakan makanan khas Lasem- Rembang, yaitu; sate serepeh, lontong tuyuhan, serta buah kawis dan sirup Kawista. Dan pada malam harinya pemandangan di Omah Abang semakin bagus yang dipercantik dengan lampion- lampion yang dinyalakan.
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat bersejarah di Lasem, yaitu Lawang Ombo yang terletak di desa Soditan. Dalam sejarahnya Lawang ombo ini merupakan rumah seorang saudagar kaya dari tionghoa yang menetap di Lasem. Yang membuat sejarah Lawang Ombo ini berbeda dari rumah yang lainnya adalah adanya lubang rahasia yang menggubungkan langsung rumah tersebut dengan sungai yang ada di seberang jalan. Lubang tersebut cukup panjang, melewati Klenteng yang ada di belakang rumah tersebut. Diametenya tidak terlalu lebar. Hanya seukuran tubuh orang dewasa saja. Dan diameter terowongan dari lubang dalam rumah menuju ke sungai hanya mampu dilewati oleh perhu kecil saja.
Dari informasi yang saya dapat, terowongan ini digunakan untuk akses ilegal jual beli sabu- sabu. Berkilo- kilo gram sabu dapat dengan aman masuk ke dalam rumah ini. Dahulu, rumah ini sempat ditutup untuk umum. Dan masyarakat luas mempunyai anggapan bahwa Lawang Ombo ini adalah tempat yang angker. Di sini sempat di jadikan sebagai objek uji nyali dalam acara uji nyali pada salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.
Perjalanan kami lanjutkan menuju ke wisata religi islami yang ada di Lasem. Tujuan pertama adalah Masjid Jami’ Lasem. Sama halnya dengan masjid lainnya. Yang menarik di sini adalah makam- makam yang berjejer rapi di belakang masjid. Makam yang indah ini merupakan makam dari tokoh- tokoh islam yang berpengaruh di Lasem, seperti Eyang Sambu yang pada hari hari wafatnya selalu diadakan pagelaran atau acara untuk mengenangnya.
Setelah saya teliti lagi, ternyata tempat penginapan yang saya tempati terletak tidak jauh dari lokasi Masjid Jami’ ini. Sedangkan pada sisi lainnya. Banyak sekali pondok pesantren berdiri tegak dan kokoh di Lasem. Mungkin inilah alasan mengapa Lasem dijuluki sebagai Kota Seribu Santri. Banyak anak- anak dari luar daerah yang berbondong- bondong ke Lasem hanya untuk belajar menggali ilmu islami. Tercatat ada lima pondok pesantren besar ada di sini.
Dilihat dari lokasinya antara kampung pecinan dan pondok pesantren yang tersebar jaraknya sangat berdekatan. Bahkan terdapat satu pondok pesantren yang didirikan di area kampung pecinan. Ini adalah salah satu akulturasi budaya yang cukup menarik.
Tujuan berikutnya adalah Makam Sunan Bonang. Memang perhelatan mengenai di mana sebenarnya makam Sunan Bonang berada sangat sulit untuk dicari kebenarannya. Namun, terlepas dari semua itu, konon makam yang ada di sini hanyalah makan surbannya Sunan Bonang saja.
Di sana terdapat sebuah anak tangga yang cukup panjang. Di sana pula saya mendapati sebuah batu besar yang di permukaannya terdapat pola telapak tangan. Konon telapak tangan tersebut adalah telapak tangan Sunan Bonang dan batu tersebut adalah alas yang sering digunakan Sunan Bonang untuk beribadah. Selain itu ada pula makam Putri Cempa. Pertanyaan saya di sini adalah siapakah Putri Cempa itu?
Dari cerita pak Abdul, seorang penjual es kelapa muda di sana, ada cerita menarik tentang makam Putri Cempa, tentang mengapa makam Putri Cempa bisa berada daerah makam Sunan Bonang! Dikisahkan Putri Cempa adalah seorang wanita etnis tionghoa yang jatuh cinta kepada Sunan Bonang. Cintanya tidak terbalaskan, dia ditinggalkan oleh Sunan Bonang hingga dia meninggal dan di makamlan di sana. Dari cerita tersebut muncullah sebuah kepercayaan dari warga setempat bahwa barang siapa yang berkunjung di tempat tersebut dengan mengajak kekasihnya—pacarnya ( bukan istri/ suami ), maka hubungan mereka akan putus ditengah jalan seperti yang dialami Putri Cempa dan Sunan Bonang. Dan ternyata dahulunya kota Lasem ini adalah tempat yang digunakan untuk berlabuh Sam Po Kong dengan legendanya yang terkenal bersma Sunan Bonang yaitu pada kisah awal mula terciptanya Watu Layar. Kedua kebudayaan tersebut masih terbawa dan terjaga dengan baik. Keduanya sama- sama berkembang dan semakin kuat tanpa merusak satu sama lain.
Saya rasa tidak akan cukup waktu saya untuk menuliskan lebih banyak lagi tentang keunikan bagaimana bisa Kota Tiongkok Kecil Heritege ini berada di dalam Kota Santri. Hal ini menandakan bahwa toleransi antarwarga Lasem sangatlah tinggi dan patut kita contoh sebagai pedoman hidup untuk hidup di dalam negara Indonesia yang beragam budaya ini.
Sebenarnya, perjalanan saya dan teman saya tidak berakhir hanya pada Makam Sunan Bonang saja. Masih banyak tempat menarik yang kami kunjungi di Lasem ini. Namun, karena bahasan saya kali ini adalah kota tiongkok kecil heritage yang berada di kota seribu santri maka saya cukupkan sampai di sini. Semoga pengalaman saya dapat bermanfaat bagi kalian untuk dijadikan pertimbangan ketika mengunjungi kota Lasem.

CERPEN REMAJA SEDERHANA | AMIN YANG SAMA


Contoh Cerpen Remaja 

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Bagi kalian yang mungkin bingung bagaimana membuat cerpen, mungkin kalian bisa baca dulu cerpen berikut ini! biar dapat pencerahan mau nulis apa gitu. hehehe!

Amin Yang Sama

Kini aku sadar bahwa potongan ayat itu tidak berlaku untuk sebuah pernikahan, sebuah hubungan rumah tangga. Siapa yang mengira bahwa semua akan seperti ini? Sebelum kejadian dua minggu lalu. Dan setelah  itu, semua terasa cepat berlalu meski harumnya masih semerbak memasuki ruang hatiku.
Pagi itu aku terbangun. Perlahan kuusap kedua mata bergantian kanan dan kiri. Bergegas kuberanjak dari singgasana kemudian pergi ke kamar mandi. “Sarah! Cepat bangun, sarapan dulu, Nak!” nyanyian wajib ibu setiap pagi. Ya, memang bila Shalatsubuh telah kutunaikan, aku akan tidur kembali hingga sinar matahari menembus jendela kecil kamarku dengan kemiringan yang tepat mengenai wajahku. Seakan Tuhan tak ingin aku melewatkan waktu untuk menikmati indahnya pagi. Namun, jika sinar itu tidak mampu membangunkanku, maka Tuhan telah mengirim cara lain untuk membuatku terbangun dengan membunyikan alarm alami yaitu suara ibu. “Iya, Ibu! Aku sudah bangun. Hari ini makan lauknya apa?” sambil mengambil segelas air putih. “Setiap mau makan selalu saja itu yang kamu tanyakan, bukannya bersyukur. Kamu itu anak perempuan, tidak baik bila setelahshalat subuh tidur lagi. Pamali, Nak!” seakan aku telah hafal akan ucapan ibu. “Hem”. Seperti biasa, kami, yaitu ibu, bapak, adik, dan aku selalu sarapan bersama, meskipun bersamanya kami bukan seperti makan bersamanya orang- orang di sinetron. Karena istana kami yang tidak luas, kami bisa makan bersama dimana saja senyaman kami, tidak perlu harus semeja besar dengan hiasan buah karet ditengah. Bapak dan ibu di dapur, sedang aku dan adik di depan TV. Hehe makan bersama. Hari ini kami libur akhir pekan kecuali bapak yang memang kerjanya tidak terpacu pada merah, hijau, kuning di kalender.
Saat liburan akhir pekan seperti ini, tidak ada sesuatu yang paling berharga untuk kulakukan selain tidur. Yang benar saja, dari Senin-Jum’at tak pernah rasanya aku bermanja dalam tidurku. Untuk itu akhir pekanlah yang cocok untuk meluapkan rinduku.Sebelum tidur, aku sempatkan diri untuk menata buku di sebuah rak- rak kecil yang kami sebut dengan perpustakaan mini keluarga. Kami memang tidak beruang tetapi untuk masalah ilmu pengetahuan orang tua kami selalu memberikan apa saja untuk kami bisa pandai dan sukses. Kalau hanya perpustakaan saja, hah! Kami punya. Satu per satu aku mulai merapikannya, memisahkannya sesuai jenisnya. Disela- sela aku menata, tiba- tiba ponselku berbunyi! Kulihat dilayar tertulis sebuah pesan dari Feby. “Aku ada di depan, keluarlah dan ajak aku masuk!” ehem entah apa maksudnya, tapi aku senang dia datang sekalian bisa membantuku untuk menata kembali buku-buku itu. Feby adalah teman kursusku, kami bertemu dalam forum kursus komputer. Awal bertemu, dia adalah lelaki yang manis, lucu, dan ramah kepada semua orang. Namun, setelah kami jauh saling mengenal dia tidak hanya ramah, tetapi juga bawel, menyebalkan, walau terkadang lucunya masih ada. Sambil menata, kami pun berbincang- bincang. Dalam perbincangan kami tidak ada yang begitu serius hingga pada akhirnya Feby membahas sebuah permasalahan yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu kasus penistaan agama. Aku memang sering mengikuti perkembangan kasus tersebut. Namun, rupanya pendapatku, pandanganku terhadap kasus tersebut sangat berbeda dengan Feby. Kami berdebat seolah hakim dan penuntut hukum yang selalu mengutarakan rasa keberatannya. Feby memang bukan anak kuliahan. Namun, dia tidak bodoh menutup hati, mata dan pikirannya untuk belajar. Menurut Feby tanpa kuliah kita tetap bisa belajar, melalui pengalaman, apa yang kita lihat, kita dengar. Ya, kegigihannya itulah yang membuatku kagum kepadanya. Perdebatan kamipun berlanjut. Hingga kami memutuskan untuk mencari sumber yang tepat untuk menguatkan argumen kami. Entah itu masalah hukum atau pun keagamaan, semuanya akan kami gali. Melihat buku- buku yang sebagian sudah tertata rapi, aku menemukan sesuatu. Sebuah buku yang sebenarnya tidak cocok untuk menguatkan pendapatku. Sampulnya cantik dan menarik. Buku itu berjudul “ Kisah kehidupan keluarga Nabi Muhammad”. Segera kutunjukkan buku tersebut pada Feby. “Lihatlah! Bukankah ini lucu?” Feby menatapku, dan segera menyahut buku itu membaca judulnya, kemudian “ kita ini mau cari bukti untuk menguatkan perdebatan kita, ini buku apa?” Sambil menarik hidungku. “Eh jangan salah! Siapa tahu di sini ada. Ya sudah kalau kamu tidak mau membacanya, biar aku saja. Bawa sini coba!” sambil merebut buku dari tangan Feby.
Faby terus mencoba mencari buku yang sesuai, sementara aku perlahan membuka lembaran dari buku yang menarik perhatianku tadi. Kulewati kata pengantar dan daftar isi. Di halaman satu tertulis “ Lahirnya Nabi Muhammad” dan kubaca, terus melewati halaman dua, tiga, dan empat hingga aku menemukan sebuah judul yang menarik untuk kubaca yaitu “ Cerita Cinta Nabi Muhammad dan Khadijah”. Menurut pemahamanku setelah membaca, Nabi Muhammad tetap bersedia menikahi Khadijah meski usia Khadijah jauh lebih tua dari beliau. Ehem, tak mau menyimpannya sendiri segera ku menceritakannya kepada Feby yang tampaknya sudah menemukan buku yang dicarinya. “Feby! Lihat ini! Kisahnya bagus, ternyata Khadijah lebih tua dari pada Nabi Muhammad lho!” “hemm aku sudah tau!”. Mendengar jawaban Feby aku memutuskan untuk melanjutkan bacaanku dari pada menanyainya lagi! Kubuka judul selanjutnya “ Kisah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib”. Ya memang dasar aku ini wanita yang selalu bersemangat dan sedikit baper akan ceritanya. Aku pun bercerita kepada Feby lagi. Dan lagi- lagi dia menjawab dengan jawaban yang tidak berbeda dengan sedikit tambahan “apa kamu pernah membaca atau mendengar kisah cinta yang mengharukan antara Yusuf dan Zulaikha?” tanyanya. “ belum, hanya sekedar tahu saja bahwa cinta mereka tidak tersampaikan!”. “Payah! Begini ceritanya. . .”. Feby pun mulai bercerita tentang kisah Yusuf dan Zulaika hingga dia lupa akan perdebatan penistaan agama dan perlahan kututup buku bacaanku yang berakhir pada kisah Fatimah dan Ali.
Waktu terus berjalan akibat rotasi bumi yang terjadi. Saatnya aku berangkat ke kampus. Tak ada yang berbeda, semua tampak seperti biasa. Pohon-pohon rindang saling bersahutan. Berlomba-lomba untuk mengeluarkan tiupan terbaik, sehingga tercipta suasana nyaman dan penuh kesejukan. Siapa diantaranya menjadi pemenang, di situlah mahasiswa bersama atau pun berdua sejenak berdiam, membaca buku, beristirahat, ada pula yang sangat fokus lihai dalam membaca situasi. Hahaha. Generasi muda zaman sekarang semua ahli membaca situasi. Itu bagus! Mengabaikan semua itu aku pun melanjutkan perjalanan. Menaiki berpuluh-puluh anak tangga. Hingga tibalah aku disebuah ruangan yang tidak asing lagi, yaitu tempat kami untuk melakukan perkuliahan tentunya. Di kelas aku mempunyai seorang teman yang sangat dekat denganku. Dia berbeda dengan kebanyakan lelaki seusianya yang kini mulai meniru gaya kebarat-baratan. Namanya Rafa. Rafa sangat menghormati perkembangan zaman, dia tidak menolaknya namun dia juga tidak melupakan adatnya. Rafa suka sekali dengan adat jawa. Baik lagunya, alat musiknya, tutur katanya. Semua dia pelajari dengan baik. Mungkin itu pula yang membuatku tertarik kepanya. Kami sangat dekat. Bila mengingat cerita yang kemarin aku baca. Kami ini seperti Fatimah dan Ali yang diam-diam saling mencintai. Suatu ketika Rafa bertanya kepadaku tentang Feby. Sepertinya dia cemburu karena dirumah aku sering terlihat bersama Feby. Ya memang Feby dulunya adalah bagian terpenting dalam hidupku. Dia pernah mengisi hatiku. Namun, kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut agar kami bisa belajar memahami kehidupan untuk nantinya bisa menjalankan sebuah komitmen bersama. Ku jelaskan semuanya pada Rafa. Dia bisa menerimanya.
Saat matahari lebih berpihak ke arah barat, aku duduk termenung. Tanpa ku sadari ada sosok yang menghampiriku. Langsung saja tanpa merasa berdosa dia duduk disampingku. Tepat di sampingku tanpa ada celah dan ruang untuk cahaya bisa menembusnya. Rafa. Ternyata Rafa. Tak hanya membuatku terkejut, kedatangannya pun membuat suhu badanku meningkat. Tak sadar aku terus menatapnya tanpa mengucap sepatah kata pun. Seakan bibirku dan bibirnya telah berkompromi untuk tidak menghancurkan momen tatapan ini.
Peluh yang keluar dari dahi perlahan mengalir dan menetes. Membentuk pola dijilbabku yang berangsur sirna. Bersama dengan sirnanya pola itu terdengar suara sruputan es dari meja sebelah yang memudarkan lamunan kami berdua. “Es tehnya dua,Bu!” kalimat pertama Rafa saat itu sekaligus sebagai awal mulainya perbincangan kami. “ kamu kok sendirian disini?” tanyanya. “ ih siapa bilang, ini aku sama kamu!” jawabku mencoba mencairkan suasana. “Uh dasar! Bisa aja kamu!” jawabnya sambil menepuk jidatku. “Aduh! Sakit tau!” keluhku. “Eh eh. Kok kamu demam sih? Kamu sakit?” tanyanya serius. Tatapan mata Rafa menunjukkan betapa pedulinya dia kepadaku. Bukannya membuat senang melainkan membuatku semakin gugup dan tak karuan. “ em nggak kok, aku nggak apa-apa. Sakit ini anugrah dan rahmat dari Allah. Kamu tahu kan kalau orang sedang sakit itu tandanya Allah sedang menghapus dosa-dosanya!” jawabku dengan mencoba santai. “ eh dasar! Sakit kok anugrah! Kalau sakit itu anugrah kenapa orang-orang mau sembuh dari sakitnya coba?” jawaban Rafa yang menggelitik telingaku. Perbincangan kami terus berlanjut, tidak peduli es kami habis atau pun dilihat banyak orang. Kami terus berbincang, tertawa bersama. Hingga tiba saat pertannyannya merubah suasana. “Sarah! Kamu tahu nggak maksud kata BD ini?” sambil memperlihatkan ponselnya. Dalam ponsel itu tertulis bahwa Rafa telah mengirimkan sebuah ucapan selamat ulang tahun kepada seorang permpuan. Yang kemudian perempuan tersebut membalasnya dengan ucapan terima kasih dan kata terakir yang ditulis pada nama Rafa adalah BD. Tidak terfokus pada pertanyaan Rafa tetapi aku malah berpikir siapa perempuan itu? Dan apa hubungannya dengan Rafa? Seolah tahu isi pikiranku, belum sempat aku bertanya Rafa pun menjawab “ dia guruku. Guru agamaku. Jangan cemburu gitu deh. Jelek tau!” Mendengar jawabanya itu aku tersipu malu.
Kuamati kembali tulisan itu, di situ tertulis ada kata suster. Dengan polosnya aku bertanya “kok di sini kamu manggilnya suster sih? Bukannya suster itu perawat? Katanya ini guru kamu?” Dengan santainya Rafa menjawab “ bukan suster perawat. Haduh! Ini lho”. Sambil menunjukkan ponselnya kembali. Tetapi kali ini foto seorang wanitalah yang ditunjukkannya. Aku sempat terkejut karena foto itu terlihat seorang wanita dibalut baju putihmirip seperti biarawati yang sering aku lihat di jalan saat menyebrang. Dengan bodohnya aku bertanya kembali “ dia siapa? Kok kamu bisa kenal?” tidak menjawab Rafa hanya tersenyum dan menatapku. Dari senyumannya itu membuat otakku bergerak, berpikir. Seketika suasana hatiku tak menentu, pikiranku tidak ingin fokus pada hal yang ku maksudkan. Hati serasa jatuh tapi tidak sampai menyentuh tanah. Aku tak kuasa untuk menanyakannya, terlalu takut menerima kenyataan. Tapi harus kutanyakan.“ Rafa? Boleh aku bertanya sesuatu, tapi berjanjilah jawab pertanyaanku dengan jujur!” tanyaku serius. “ silahkan” jawab Rafa dengan tenangnya. “Apa kamu muslim? Rafa, uslim?” tanpa sadar mataku berkaca-kaca menanyakannya. Berharap Rafa menjawab tidak seperti yang aku pikirkan. “ kalau aku boleh jujur, aku ini tidak bisa shalat, Sarah!” “maksud kamu?” mencoba memperjelas “ aku ini katolik, aku nasrani. Sarah!” Mendengar jawaban Rafa, aku mulai melihat tembok besar, tembok yang sangat tinggi dan tak berujung yang tidak bisa kami tembus. Dari tembok itu kullihat ada sesosok Rafa melentangkan tangannya. Aku coba mendekati tapi tidak pernah sampai.
Karena suasana begitu buruk, badai kasat mata telah melanda. Kami pun pulang. Aku duduk di balik jendela. Baru kali ini aku menatap senja dengan sendu. Merasa bahwa jingga adalah pilu. Air mata yang hanya berdiam dan tidak bisa menetes ini semakin membebaniku. Hari ini adalah hari di mana agama sebagai rahmat sekaligus ujian untukku. Di satu sisi aku sangat mencintai Rafa namun di sisi lain agama telah menuliskan dengan jelas akan larangan itu!
Kucoba mengambil buku yang kemarin sempat aku baca. Mencoba mengalihkan perhatian. Ku buka kembali buku itu. Membuka judul baru. Di mana Judul Fatimah dan Ali tidak cocok untuk kisahku. Berharap menemukan ketenangan,namun malah tambahan kepiluan yang kudapat. Sempat berpikiran bahwa kisah baru yang berjudul “ Kisah Cinta Zainab Putri Rasulullah” ini mirip dengan kisahku. Yang mencintai seseorang yang berbeda keyakinan. Namun, tidak! Beruntunglah Zainab karena dia seorang putri Nabi, dan kisahnya pun dipersatukan lagi oleh agama. Lalu bagainama denganku. Ya Allah. Apa ini? Aku pikir berpisahnya aku dan Feby adalah karena ada Rafa yang lebih baik untuk menjadi imamku. Ya Allah. Andai saja Firmanmu yang mengatakan bahwa bagiku agamaku dan bagimu agamamu berlaku untuk sebuah pernikahan, sebuah hubungan. Akan kulanjutkan kisah ini. Namun, jika ini memang ketentuanmu. Aku tak berdaya.
Dengan mata yang sembab kubuka ponsel yang tadi berbunyi. Terlihat ada sebuah pesan dari Rafa. “ apa kamu sedih?” begitu tulisnya. “ iya , Rafa. Tapi, semua akan indah pada waktunya bukan!” Jawabku. “ kok kamu tahu?” tanyanya kembali. “ Tuhan tidak pernah salah” jawabku. “ mengapa?” tanyanya. “ karena aku percaya” jawabku dengan penuh keyakinan. Setalah itu Rafa tidak menjawab lagi.
Andai aku hidup di zaman Nabi, Andai saat itu aku adalah Zainab. Akan ku minta kepada Ayah untuk menyatukanku pada suamiku meski kami berbeda keyakinan. Namun, sekali lagi aku bukanlah Zainab. Aku hanya wanita akhir zaman berjubahkan kesalahan. Dan Rafa adalah bukanlah bagian dari jubah itu, melainkan bagian dari zaman yang memperlihatkan ciriku sebagai wanita akhir zaman yang sejati. Zainab tidak bersalah, meskipun dialah orang pertama yang mempelopori cinta berbeda agama. Kamilah yang bersalah. Tidak mau mempelajari itu semua sebagai pengalaman dan pedoman. Tidak mudah memang menghilangkan rasa cinta. Tapi inilah takdir-Nya. Aku percaya bahwa jika agama telah memisahkan jasad antara kami, maka kami hanya akan bisa bersatu dan dipersatukan lagi oleh agama.
Dengan berani ku hubungi Rafa kembali. Aku tidak ingin hanya karena ini kami berjauhan. Perbedaan yang tidak bisa menyatukan kami dalam hubungan kekasih ini tidak bisa menghalangi kami untuk menjalin hubungan lain. Hubungan persahabatan. Kutulis sebuah pesan singkat kepadanya. Aku yang baru saja mengetahui kenyataan memilukan ini begitu terpukul, apalagi Rafa yang sejak awal mengetahuinya. Belum sempat kukirim pesanku, Rafa telah mengirim pesan yang bertuliskan. “Percayalah, bagiku Tuhan itu satu. Semua agama sama. Hanya adat kita yang berbeda!”. Akhirnya pesan yang telah kutulis tadi menjadi balasan untuk pesannya. “ Jika kamu benar mencintaiku, mintalah aku kepada Tuhanmu. Begitu pula dengan aku yang memintamu kepada Tuhanku. Meski keyakinan dan cara berdoa kita berbeda. Setidaknya doa kita akan bertemu pada aamiin yang sama.”



                                                         Oleh Meisaroh (16410049) 2B PBSI