Perihal Orang Miskin
yang Bahagia
Cerpen Agus Noor (Jawa
Pos, 31 Januari 2010)
“Aku sudah
resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin,
yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah
bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda
Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan
perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin
berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
Diam-diam aku
suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara
anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan
menjadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku
melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang
miskin itu berkata mesra, “Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak
begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun
tertawa.
Aku selalu iri
menyaksikan kebahagiaan mereka.
Orang miskin
itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli
angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia
membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang
run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang
miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah
mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang
punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur,
karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak
itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
Pernah, dengan
malu-malu, ia berbisik padaku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku
pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi
pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi
pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi
pelawak saja?”
Ia mendadak
terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Bertahun-tahun
ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di
panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
Orang miskin
itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap menghibur
di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis
ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang
bukan hiburan yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika
akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang,
ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka mengibur diri di depan
kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya
tertawa.
Orang miskin
itu akrab sekali dengan lapar. Setiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu
selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar melupakan penderitaan. Atau,
seringkali, orang miskin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untuk
menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar
datang bertandang.
“Hiburan apa yang paling
menyenangkan ketika lapar?” Dan orang miskin itu akan menjawabnya sendiri,
“Musik keroncongan.”
Dan lapar akan
terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
Yang menyenangkan,
orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin
yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,”
katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya.
Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di
Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku.
“Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di
kampus itu.”
Orang miskin
itu sendiri punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Paling tua berumur 8
tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang
miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa
mengamalkan kemiskinan mereka secara adil dan beradab berdasarkan Pancasila
dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda.
“Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi,
seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya
recehan. Hasil dari mengemis.
Pernah suatu
malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil
anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan diri menikmati kopi. “Orang
miskin perlu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, beginilah nikmatnya jadi
orang miskin. Punya banyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah
jadi orang miskin,” ujarnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu
miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan, yang bisa digunakan untuk
membiayaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang
melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pelan ia
menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat
seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
Wajah orang
miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca.
Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak
pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu
pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu
malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, berjalan
mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam
saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila
aku berkaca, aku kerap melihatnya tengah berusaha menyembunyikan isak tangisnya.
Ada saat-saat
di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan salah
paham,” katanya. “Aku sedih bukan karena aku miskin. Aku sedih karena banyak
sekali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin
karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa,
saat itu mendadak aku merasa kikuk dengan penampilanku yang perlente. Sejak
itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
Bila lagi sedih
orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi
hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan
terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan
dibagikan.
Ada lagi satu
cerita, yang suka diulangnya padaku: Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni
rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri
itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si
orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu
curi.”
Ia mendengar
kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan
untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
Orang miskin
itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali
pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi
dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar
tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya
jadi orang miskin,” katanya. “Dituduh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu,
setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia
pelakunya. Dengan harapan ia kembali dipukuli.
Banyak orang
berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu
tewas dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan.
Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti
menghidupi satu jabang bayi lagi. Makanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu
ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang
mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes
dari putingnya.
Sepertinya ini
memang lagi musim orang miskin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu
sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi
sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri
gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang
miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin gadungan yang mau mati
bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya
sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu
dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
Orang miskin punya
ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman saja yang
tak mau berponsel. Tapi aku tetap saja kaget ketika orang miskin itu muncul di
rumahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin
seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk
memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja
dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel
itu tak ada pulsanya.
Ia juga punya
kartu nama sekarang. Di kartu nama itu bertengger dengan gagah namanya, tempat
tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
Ia memang jadi
kelihatan keren sebagai orang miskin. Ia suka keliling kampung, menenteng ponsel,
sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot
mengemis dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya. “Buat apa? Toh sekarang
kami sudah nyaman jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu
Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku
merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa
dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal terasi dan nasi—yang tambah
sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementara aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau
merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi
orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul
ia segera pergi.
Ketika tubuhnya
digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit.
Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal
kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi
orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang
miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa
pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata perawat,
lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin
itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat
anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu
Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
Beruntung
sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak,
perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang
terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang
tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk
uang lima ribu.
Suatu sore yang
cerah, aku melihat orang miskin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke
mal. Benar-benar keluarga miskin yang sakinah, batinku. Ia memborong apa saja
sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti
mereka,” bisik orang miskin itu pada istrinya, sambil menunjuk orang-orang
yang sedang antre membayar dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin itu
pun segera mengeluarkan Kartu Tanda Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja,
petugas keamanan langsung mengusirnya.
Ia tenang
anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi
kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada
yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan
sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu,
itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan
dibudidayakan.”
Aku diam
mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan
kuselipkan kembali ke dalam saku.
Takdir memang
selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa
firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong
memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya
terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan,
nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian
perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup
buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah
lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa
hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk
hidup kembali.
Sejak peristiwa
itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini
selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,”
begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati saja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu
kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu,
kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin
masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak
jadi mati? Karena neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
Nasib buruk
kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing.
Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan
segera menyembelihnya. (*)
A. ANALISIS
DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
Dalam
kajian mimetik ini cerita akan dikaitkan dengan kondisi masyarakat atau keadaan
alam sekitar pada saat karya sastra diciptakan yaitu keadaan masyarakat baik
itu ekonomi, sosial, budaya, politik pada saat karya sastra diciptakan.
Cerita
pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” menceritakan tentang sebuah kondisi
masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan. Pengarang ingin menceritakan kondisi
seorang yang miskin tetapi dia merasa bahagia karena status kemiskinannya telah
diakui oleh pemerintah. Kritik sosial
yang ingin ditampilkan pengarang dalam cerita ini adalah pemerintah mengakui
bahwa masyarakat di negaranya masih banyak mengalami kondisi kemiskinan. Selain
itu muncul sebuah anggapan bahwa untuk menjadi miskin di republik ini, tidak
cukup hanya dengan sekedar pakaian kumal, gubug reyot, perut yang senantiasa
kelaparan. Tapi dibutuhkan pula selembar
keterangan atau identitas yang menyatakan bahwa dia benar-benar miskin, yang
dikeluarkan oleh kepala desa atau kepala kelurahan.
Keadaan
tersebut masih sangat relevan dengan kondisi di Negara ini sekarang, banyak
sekali orang yang kurang mampu yang masih banyak membutuhkan tenaga kerja.
Mereka dibekali kartu tanda miskin untuk
mengesahkan kemiskinan mereka, padahal yang mereka butuhkan adalah pekerjaan,
bukan kartu yang tiada gunanya.
B. ANALISIS
DENGAN PENDEKATAN EKSPRSIF
Bila
dilihat dari latar belakang pengarang, Agos Noor tidak mempunyai riwayat
kehidupan seperti apa yang dia tuliskan dalam cerpennya ini. Dia tidak pernah
mendapatkan kartu miskin ataupun yang lain. Namun bila tokoh “aku” dalam cerpen
ini adalah Agus Noor, ada kemungkinan dia mengalaminya. Berikut adalah riwayat
hidup Agus Noor.
Lahir
di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968. Berlatar belakang pendidikan Jurusan
Teater Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang
pendidikan teater, ia aktiv menulis. Ia menyatakan bahwa menulis baginya adalah
cara untuk menyelamatkan diri dari kegilaan.
Selain
menulis prosa, ia juga menulis cerpen, karya cerpennya dimuat dalam Antologi
Ambang (1992), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang
terhimpun dalam antologi bersama, diantaranya Lampor (Cerpen pilihan Kompas,
1994) Jl. Asmaradana (Cerpen pilihan Kompas, 2005) dan Kunang-Kunang di Langit
Jakarta (Cerpen Terbaik pilihan Kompas, 2011)Kitab Cerpen Horison Sastra
Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002) Dari Pemburu Ke
Tapuetik (Majelis Sastra zAsia Tenggara dan Pusat Bahasa,2005) dll.
Buku-buku
kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia (Yayasan Untuk
Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000),
Selingkuh Itu Indah (Galang Press,2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia
(Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Kompas, 2006). Sebungkus
Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik
(Lamalera, 2006) dan terakhir Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang,
2010).
Beberapa
kali meraih penghargaan sastra, diantaranya, tahun 1991, memenangkan juara 1
penulisan cerpen pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) I dan mendapat
penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV
tahun 1992. Sementara pada tahun 1999, tiga cerpennya, Keluarga Bahagia,
Sebutir Peluru dan Tak Ada Mawar di Jalan Raya mendapat anugrah cerpen
Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.
Penghargaan
yang lain yang pernah ia raih yaitu karya cerpennya yang berjudul Pemburu oleh
majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya sastra terbaik yang
pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000.Dan cerpen Piknik
mandapat anugrah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya untuk katagori
cerpen.
Cerpenis
yang pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000 ini, kini tengah
menyunting buku antologi Cerpen-cerpen terbaik Indonesia,yang merangkum tentang
penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma.
C. ANALISIS
DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK
Nilai-nilai kehidupan
yang terdapat dalam cerita pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” dapat
berupa:
Identifikasi nilai-nilai kehidupan dalam sastra
|
Deskripsi
|
Nilai ekonomi
|
Kebanyakan dari orang miskin bekerja sebagai
pengemis untuk mendapatkan penghasilan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Walaupun di era modern ini tidak semua pengemis adalah orang miskin.
|
Nilai sosial
|
Orang miskin biasanya dipandang hina oleh orang
lain yang lebih mampu. Padahal mereka juga sebagai manusia yang perlu
dihargai dan dihormati. Lebih terhormatnya seseorang adalah yang mau membantu
orang lain yang sedang kesusahan atau kesulitan
|
Nilai moral
|
Seseorang hendaknya tidak perlu merasa iri pada
orang lain. Tapi harus bisa belajar dari orang lain agar mendapat kehidupan
yang lebih baik. Tidak perlu banyak mengeluh menghadapi kenyataan hidup.
Berani mengakui diri dan instrospeksi diri agar menjadi manusia yang lebih
maju.
|
D. ANALISIS
DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF
Analisis dengan pendekatan Stanton:
1. Fakta
a. Tokoh
dan Penokohan
Nama Tokoh
|
Identifikasi Karakter dan Karakteristik Tokoh
|
Bukti Pendukung
|
1.
Orang miskin
|
Ulet
Pekerja keras
Idealis
Suka melamun
|
· orang
miskin itu di kenal ulet
· ia
mau bekerja serabutan apa saja
· Untunglah,
sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk
dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini
bukti kalau aku orang miskin sejati.”
· Diam-diam
aku suka mengintip rumah orang miskin itu ia sering melamun sementara
anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar
|
2.
Tokoh aku
|
Iri
Suka mengintip
|
· Aku
selalu iri menyaksikan kebahagian mereka
· Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu ia
sering melamun sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan
lapar
|
3.
Anak-anak orang miskin
|
Suka membatu orang tua
|
· Tapi, seringkali kuperhatikan ia
begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
|
4.
Istri orang miskin
|
Tabah
|
· beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang
tabah
|
b. Alur
dan Pengaluran
Alur
|
Alur apa yang
terdapat dalam cerpen
|
Alur mundur
bukti : a.pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan di ri menikmati kopi. b. Orang miskin itu pernah di tangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu di curigai. Ia di inteeogasi dan di gebugi. |
c. Latar
/ Setting
Jenis Latar
|
Identifikasi Latar
|
Bukti Pendukung
|
Tempat
|
Rumah orang
miskin
Warung
Rumah sakit
|
·
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu
·
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir
kali
· Ketika tubuhnya
digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah
sakit.
|
Waktu
|
Sore hari
Malam hari
|
·
Suatu sore aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama
istrinya
· Pernah suatu malam kami menongkrong di warung pinggir
kali
|
Suasana
|
Bahagia
Sedih
|
· Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan
mereka.:
·
Kadang-kadang,
ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka mengibur diri di depan
kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya
tertawa.
|
2. Tema
Tema
mayor dalam cerita ini adalah Kehidupan Ekonomi. Dapat dibuktikan pada kutipan
berikut:
“Aku sedih karena
banyak sekali orang yang malu mengakui miskin, banyak sekali orang bertambah
miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin”
“Mereka tetap miskin,
malah banyak gunanya yang berdesak-desakan dan saling injak setiap ada
pembagian beras &sumbangan. Dan bisa di tipu setiap menjelang pemilu”
Sedangkan
tema minor dalam puisi ini adalah kemiskinan.
3. Sarana
Cerita
a. Judul
Cerpen
diatas berjudul “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”. Judul ini sudah
mencerminkan sebagian isi dari cerita, yaitu menceritakan kehidupan orang
miskin yang bangga akan kemiskinannya.
b. Sudut Pandang
Sudut
pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen “Perihal Orang Miskin yang
Bahagia” adalah sudut pandang orang pertama pelaku sampingan. Dalam cerita
tersebut tokoh yang menjadi pusat perhatian atau tokoh utamanya adalah Orang
miskin sementara tokoh aku hanya sebagai tokoh pendamping atau tokoh pembantu
dalam cerita. Hal ini dapat terlihat jelas dalam kutipan berikut:
Diam-diam
aku suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara
anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan
menjadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya. Suatu sore, aku melihat
orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin
itu berkata mesra, “Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita….” “Ialah
ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri
menyaksikan kebahagiaan mereka.
c. Gaya Bahasa
Gaya bahasa
|
Gaya bahasa
apa yang di gunakan
|
a)
Majas litotes
bukti
1. Aku malu
karena aku tak punya apapun yang bisa kamu curi.
2. Cuku bermodal tampang berbeda & mau di hina-hina.
b) Majas
asosiasi
bukti: siang malam ia membanting tulang.
c) Majas
hiperbola
bukti: kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah.
d) Majas
simbolik
bukti: suatu hari, orang miskin itu kembali menjadi anjing. |
d. Amanat
Adapun amanat yang
terdapat dalam cerita pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” adalah:
1)
Jangan jadikan status ,oskin sebagai
alasan untuk tidak mau berusaha
2)
Jangan menyalahgunakan layanan “Kartu Tanda
Miskin” untuk hal-hal yang tidak benar.
3)
Janganlah malu untuk mengakui
kemiskinan. Jadikan kemiskinan itu menjadi motivator untuk berusaha lebih keras
agar mendapat kehidupan yang lebih baik.
TERIMAKSIH IZIN SHARE DAN COPI YA
BalasHapusIsin share dan copy terima kasih
BalasHapusTrimakasih
BalasHapusTerimakasih izin share kak
BalasHapus