Senin, 28 Mei 2018

CONTOH ANALISIS CERPEN DENGAN PENDEKATAN MIMETIK, PRAGMATIK, OBJEKTIF/STRUKTURAL, EKSPRESIF

Analisis dengan Empat Pendekatan Abrams

Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 31 Januari 2010)

Hasil gambar untuk gambar orang miskin yang bahagia


“Aku sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”

Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”

Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.

Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.

Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.

Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”

Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”

“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”

Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”

Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.

Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.

“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”

Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.

Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”

Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”

Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.

Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.

Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.

Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.

Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.

Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.

Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”

Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.

Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.

Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku: Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”

Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.

Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”

Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.

Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”

Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”

Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.

“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.

Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.

Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”

Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.

“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”

Sambil bersiul ia segera pergi.

Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.

Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.

Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.” Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.

Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.

Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.

Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.

“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”

Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.

Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”

Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.

Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.

Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.

Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.

Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.

“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!” Orang-orang pun tertawa ngakak.

Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)

A. ANALISIS DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

Dalam kajian mimetik ini cerita akan dikaitkan dengan kondisi masyarakat atau keadaan alam sekitar pada saat karya sastra diciptakan yaitu keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya, politik pada saat karya  sastra diciptakan.

Cerita pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” menceritakan tentang sebuah kondisi masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan. Pengarang ingin menceritakan kondisi seorang yang miskin tetapi dia merasa bahagia karena status kemiskinannya telah diakui oleh pemerintah.  Kritik sosial yang ingin ditampilkan pengarang dalam cerita ini adalah pemerintah mengakui bahwa masyarakat di negaranya masih banyak mengalami kondisi kemiskinan. Selain itu muncul sebuah anggapan bahwa untuk menjadi miskin di republik ini, tidak cukup hanya dengan sekedar pakaian kumal, gubug reyot, perut yang senantiasa kelaparan. Tapi  dibutuhkan pula selembar keterangan atau identitas yang menyatakan bahwa dia benar-benar miskin, yang dikeluarkan oleh kepala desa atau kepala kelurahan.

Keadaan tersebut masih sangat relevan dengan kondisi di Negara ini sekarang, banyak sekali orang yang kurang mampu yang masih banyak membutuhkan tenaga kerja. Mereka dibekali  kartu tanda miskin untuk mengesahkan kemiskinan mereka, padahal yang mereka butuhkan adalah pekerjaan, bukan kartu yang tiada gunanya.

B. ANALISIS DENGAN PENDEKATAN EKSPRSIF

Bila dilihat dari latar belakang pengarang, Agos Noor tidak mempunyai riwayat kehidupan seperti apa yang dia tuliskan dalam cerpennya ini. Dia tidak pernah mendapatkan kartu miskin ataupun yang lain. Namun bila tokoh “aku” dalam cerpen ini adalah Agus Noor, ada kemungkinan dia mengalaminya. Berikut adalah riwayat hidup Agus Noor.

Lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968. Berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktiv menulis. Ia menyatakan bahwa menulis baginya adalah cara untuk menyelamatkan diri dari kegilaan.

Selain menulis prosa, ia juga menulis cerpen, karya cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam antologi bersama, diantaranya Lampor (Cerpen pilihan Kompas, 1994) Jl. Asmaradana (Cerpen pilihan Kompas, 2005) dan Kunang-Kunang di Langit Jakarta (Cerpen Terbaik pilihan Kompas, 2011)Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002) Dari Pemburu Ke Tapuetik (Majelis Sastra zAsia Tenggara dan Pusat Bahasa,2005) dll.

Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia (Yayasan Untuk Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000), Selingkuh Itu Indah (Galang Press,2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Kompas, 2006). Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006) dan terakhir Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010).

Beberapa kali meraih penghargaan sastra, diantaranya, tahun 1991, memenangkan juara 1 penulisan cerpen pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) I dan mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV tahun 1992. Sementara pada tahun 1999, tiga cerpennya, Keluarga Bahagia, Sebutir Peluru dan Tak Ada Mawar di Jalan Raya mendapat anugrah cerpen Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.

Penghargaan yang lain yang pernah ia raih yaitu karya cerpennya yang berjudul Pemburu oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya sastra terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000.Dan cerpen Piknik mandapat anugrah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya untuk katagori cerpen.

Cerpenis yang pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai  sastrawan angkatan 2000 ini, kini tengah menyunting buku antologi Cerpen-cerpen terbaik Indonesia,yang merangkum tentang penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma.

C.  ANALISIS DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK

Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam cerita pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” dapat berupa:


Identifikasi nilai-nilai kehidupan dalam sastra
Deskripsi
Nilai ekonomi
Kebanyakan dari orang miskin bekerja sebagai pengemis untuk mendapatkan penghasilan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Walaupun di era modern ini tidak semua pengemis adalah orang miskin.
Nilai sosial
Orang miskin biasanya dipandang hina oleh orang lain yang lebih mampu. Padahal mereka juga sebagai manusia yang perlu dihargai dan dihormati. Lebih terhormatnya seseorang adalah yang mau membantu orang lain yang sedang kesusahan atau kesulitan
Nilai moral
Seseorang hendaknya tidak perlu merasa iri pada orang lain. Tapi harus bisa belajar dari orang lain agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu banyak mengeluh menghadapi kenyataan hidup. Berani mengakui diri dan instrospeksi diri agar menjadi manusia yang lebih maju.

                  D. ANALISIS DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF

Analisis dengan pendekatan Stanton:

1.      Fakta

a. Tokoh dan Penokohan

Nama Tokoh
Identifikasi Karakter dan Karakteristik Tokoh
Bukti Pendukung
1.  Orang miskin
Ulet
Pekerja keras

Idealis







Suka melamun
·   orang miskin itu di kenal ulet
·   ia mau bekerja serabutan apa saja
·   Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
·   Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu ia sering melamun  sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar
2.  Tokoh aku
Iri

Suka mengintip
·   Aku selalu iri menyaksikan kebahagian mereka
·   Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu ia sering melamun  sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar
3.  Anak-anak orang miskin
Suka membatu orang tua
·   Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
4.  Istri orang miskin
Tabah
·   beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah


        b. Alur dan Pengaluran

Alur
      Alur apa yang terdapat dalam cerpen
         Alur mundur
bukti :
a.pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan di ri menikmati kopi.
b. Orang miskin itu pernah di tangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu di curigai. Ia di inteeogasi dan di gebugi.

         c. Latar / Setting

Jenis Latar
Identifikasi Latar
Bukti Pendukung
Tempat
Rumah orang miskin
Warung  

Rumah sakit



·     Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu
·     Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali 
·     Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit.
Waktu
Sore hari


Malam hari


·     Suatu sore aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya
·     Pernah suatu malam kami menongkrong di warung pinggir kali 
Suasana
Bahagia


Sedih


·     Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.:
·      Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

2.      Tema

Tema mayor dalam cerita ini adalah Kehidupan Ekonomi. Dapat dibuktikan pada kutipan berikut:
“Aku sedih karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin, banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin”
“Mereka tetap miskin, malah banyak gunanya yang berdesak-desakan dan saling injak setiap ada pembagian beras &sumbangan. Dan bisa di tipu setiap menjelang pemilu”
Sedangkan tema minor dalam puisi ini adalah kemiskinan.

3.      Sarana Cerita

a. Judul

Cerpen diatas berjudul “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”. Judul ini sudah mencerminkan sebagian isi dari cerita, yaitu menceritakan kehidupan orang miskin yang bangga akan kemiskinannya.

      b. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” adalah sudut pandang orang pertama pelaku sampingan. Dalam cerita tersebut tokoh yang menjadi pusat perhatian atau tokoh utamanya adalah Orang miskin sementara tokoh aku hanya sebagai tokoh pendamping atau tokoh pembantu dalam cerita. Hal ini dapat terlihat jelas dalam kutipan berikut:

Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya. Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita….” “Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.

            c. Gaya Bahasa

Gaya bahasa
         Gaya bahasa apa yang di gunakan
           a)      Majas litotes
bukti
1.  Aku malu karena aku tak punya apapun yang bisa kamu curi.
2. Cuku bermodal tampang berbeda & mau di hina-hina.

           b)      Majas asosiasi

bukti: siang malam ia membanting tulang
.

           c)      Majas hiperbola

bukti: kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah
.

            d)     Majas simbolik

bukti: suatu hari, orang miskin itu kembali menjadi anjing
.

                    d.  Amanat

Adapun amanat yang terdapat dalam cerita pendek “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” adalah:

1)            Jangan jadikan status ,oskin sebagai alasan untuk tidak mau berusaha
2)            Jangan menyalahgunakan layanan “Kartu Tanda Miskin” untuk hal-hal yang tidak benar.
3)            Janganlah malu untuk mengakui kemiskinan. Jadikan kemiskinan itu menjadi motivator untuk berusaha lebih keras agar mendapat kehidupan yang lebih baik.

4 komentar: