Contoh Cerpen Remaja
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Bagi kalian yang mungkin bingung bagaimana membuat cerpen, mungkin kalian bisa baca dulu cerpen berikut ini! biar dapat pencerahan mau nulis apa gitu. hehehe!
Amin Yang Sama
Kini
aku sadar bahwa potongan ayat itu tidak berlaku untuk sebuah pernikahan, sebuah
hubungan rumah tangga. Siapa yang mengira bahwa semua akan seperti ini? Sebelum
kejadian dua minggu lalu. Dan setelah
itu, semua terasa cepat berlalu meski harumnya masih semerbak memasuki
ruang hatiku.
Pagi
itu aku terbangun. Perlahan kuusap kedua mata bergantian kanan dan kiri. Bergegas kuberanjak dari singgasana kemudian pergi ke
kamar mandi. “Sarah! Cepat bangun, sarapan dulu, Nak!” nyanyian wajib ibu
setiap pagi. Ya, memang bila Shalatsubuh telah kutunaikan, aku akan tidur kembali
hingga sinar matahari menembus jendela kecil kamarku dengan kemiringan yang
tepat mengenai wajahku. Seakan Tuhan tak ingin aku melewatkan waktu untuk
menikmati indahnya pagi. Namun, jika sinar itu tidak mampu membangunkanku, maka
Tuhan telah mengirim cara lain untuk membuatku terbangun dengan membunyikan alarm
alami yaitu suara ibu. “Iya, Ibu! Aku sudah bangun. Hari ini makan lauknya
apa?” sambil mengambil segelas air putih. “Setiap mau makan selalu saja itu
yang kamu tanyakan, bukannya bersyukur. Kamu itu anak perempuan, tidak baik
bila setelahshalat subuh tidur lagi. Pamali, Nak!” seakan aku telah hafal akan
ucapan ibu. “Hem”. Seperti biasa, kami, yaitu ibu, bapak, adik, dan aku selalu
sarapan bersama, meskipun bersamanya kami bukan seperti makan bersamanya orang-
orang di sinetron. Karena istana kami yang tidak luas, kami bisa makan bersama
dimana saja senyaman kami, tidak perlu harus semeja besar dengan hiasan buah
karet ditengah. Bapak dan ibu di dapur, sedang aku dan adik di depan TV. Hehe
makan bersama. Hari ini kami libur akhir pekan kecuali bapak yang memang
kerjanya tidak terpacu pada merah, hijau, kuning di kalender.
Saat
liburan akhir pekan seperti ini, tidak ada sesuatu yang paling berharga untuk
kulakukan selain tidur. Yang benar saja, dari Senin-Jum’at tak pernah rasanya
aku bermanja dalam tidurku. Untuk itu akhir pekanlah yang cocok untuk meluapkan
rinduku.Sebelum tidur, aku sempatkan diri untuk menata buku di sebuah rak- rak
kecil yang kami sebut dengan perpustakaan mini keluarga. Kami memang tidak
beruang tetapi untuk masalah ilmu pengetahuan orang tua kami selalu memberikan
apa saja untuk kami bisa pandai dan sukses. Kalau hanya perpustakaan saja, hah!
Kami punya. Satu per satu aku mulai merapikannya, memisahkannya sesuai jenisnya.
Disela- sela aku menata, tiba- tiba ponselku berbunyi! Kulihat dilayar tertulis
sebuah pesan dari Feby. “Aku ada di depan, keluarlah dan ajak aku masuk!” ehem
entah apa maksudnya, tapi aku senang dia datang sekalian bisa membantuku untuk
menata kembali buku-buku itu. Feby adalah teman kursusku, kami bertemu dalam
forum kursus komputer. Awal bertemu, dia adalah lelaki yang manis, lucu, dan
ramah kepada semua orang. Namun, setelah kami jauh saling mengenal dia tidak
hanya ramah, tetapi juga bawel, menyebalkan, walau terkadang lucunya masih ada.
Sambil menata, kami pun berbincang- bincang. Dalam perbincangan kami tidak ada
yang begitu serius hingga pada akhirnya Feby membahas sebuah permasalahan yang
saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu kasus penistaan agama. Aku memang
sering mengikuti perkembangan kasus tersebut. Namun, rupanya pendapatku,
pandanganku terhadap kasus tersebut sangat berbeda dengan Feby. Kami berdebat
seolah hakim dan penuntut hukum yang selalu mengutarakan rasa keberatannya. Feby
memang bukan anak kuliahan. Namun, dia tidak bodoh menutup hati, mata dan
pikirannya untuk belajar. Menurut Feby tanpa kuliah kita tetap bisa belajar,
melalui pengalaman, apa yang kita lihat, kita dengar. Ya, kegigihannya itulah
yang membuatku kagum kepadanya. Perdebatan kamipun berlanjut. Hingga kami
memutuskan untuk mencari sumber yang tepat untuk menguatkan argumen kami. Entah
itu masalah hukum atau pun keagamaan, semuanya akan kami gali. Melihat buku-
buku yang sebagian sudah tertata rapi, aku menemukan sesuatu. Sebuah buku yang
sebenarnya tidak cocok untuk menguatkan pendapatku. Sampulnya cantik dan
menarik. Buku itu berjudul “ Kisah kehidupan keluarga Nabi Muhammad”. Segera
kutunjukkan buku tersebut pada Feby. “Lihatlah! Bukankah ini lucu?” Feby
menatapku, dan segera menyahut buku itu membaca judulnya, kemudian “ kita ini
mau cari bukti untuk menguatkan perdebatan kita, ini buku apa?” Sambil menarik
hidungku. “Eh jangan salah! Siapa tahu di sini ada. Ya sudah kalau kamu tidak
mau membacanya, biar aku saja. Bawa sini coba!” sambil merebut buku dari tangan
Feby.
Faby
terus mencoba mencari buku yang sesuai, sementara aku perlahan membuka lembaran
dari buku yang menarik perhatianku tadi. Kulewati kata pengantar dan daftar
isi. Di halaman satu tertulis “ Lahirnya Nabi Muhammad” dan kubaca, terus
melewati halaman dua, tiga, dan empat hingga aku menemukan sebuah judul yang
menarik untuk kubaca yaitu “ Cerita Cinta Nabi Muhammad dan Khadijah”. Menurut
pemahamanku setelah membaca, Nabi Muhammad tetap bersedia menikahi Khadijah meski
usia Khadijah jauh lebih tua dari beliau. Ehem, tak mau menyimpannya sendiri
segera ku menceritakannya kepada Feby yang tampaknya sudah menemukan buku yang
dicarinya. “Feby! Lihat ini! Kisahnya bagus, ternyata Khadijah lebih tua dari
pada Nabi Muhammad lho!” “hemm aku sudah tau!”. Mendengar jawaban Feby aku
memutuskan untuk melanjutkan bacaanku dari pada menanyainya lagi! Kubuka judul
selanjutnya “ Kisah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib”. Ya memang dasar aku ini
wanita yang selalu bersemangat dan sedikit baper akan ceritanya. Aku pun bercerita
kepada Feby lagi. Dan lagi- lagi dia menjawab dengan jawaban yang tidak berbeda
dengan sedikit tambahan “apa kamu pernah membaca atau mendengar kisah cinta
yang mengharukan antara Yusuf dan Zulaikha?” tanyanya. “ belum, hanya sekedar
tahu saja bahwa cinta mereka tidak tersampaikan!”. “Payah! Begini ceritanya. .
.”. Feby pun mulai bercerita tentang kisah Yusuf dan Zulaika hingga dia lupa
akan perdebatan penistaan agama dan perlahan kututup buku bacaanku yang
berakhir pada kisah Fatimah dan Ali.
Waktu
terus berjalan akibat rotasi bumi yang terjadi. Saatnya aku berangkat ke
kampus. Tak ada yang berbeda, semua tampak seperti biasa. Pohon-pohon rindang
saling bersahutan. Berlomba-lomba untuk mengeluarkan tiupan terbaik, sehingga
tercipta suasana nyaman dan penuh kesejukan. Siapa diantaranya menjadi
pemenang, di situlah mahasiswa bersama atau pun berdua sejenak berdiam, membaca
buku, beristirahat, ada pula yang sangat fokus lihai dalam membaca situasi.
Hahaha. Generasi muda zaman sekarang semua ahli membaca situasi. Itu bagus! Mengabaikan
semua itu aku pun melanjutkan perjalanan. Menaiki berpuluh-puluh anak tangga.
Hingga tibalah aku disebuah ruangan yang tidak asing lagi, yaitu tempat kami
untuk melakukan perkuliahan tentunya. Di kelas aku mempunyai seorang teman yang
sangat dekat denganku. Dia berbeda dengan kebanyakan lelaki seusianya yang kini
mulai meniru gaya kebarat-baratan. Namanya Rafa. Rafa sangat menghormati
perkembangan zaman, dia tidak menolaknya namun dia juga tidak melupakan
adatnya. Rafa suka sekali dengan adat jawa. Baik lagunya, alat musiknya, tutur
katanya. Semua dia pelajari dengan baik. Mungkin itu pula yang membuatku
tertarik kepanya. Kami sangat dekat. Bila mengingat cerita yang kemarin aku
baca. Kami ini seperti Fatimah dan Ali yang diam-diam saling mencintai. Suatu
ketika Rafa bertanya kepadaku tentang Feby. Sepertinya dia cemburu karena
dirumah aku sering terlihat bersama Feby. Ya memang Feby dulunya adalah bagian
terpenting dalam hidupku. Dia pernah mengisi hatiku. Namun, kami memutuskan
untuk mengakhiri hubungan tersebut agar kami bisa belajar memahami kehidupan
untuk nantinya bisa menjalankan sebuah komitmen bersama. Ku jelaskan semuanya
pada Rafa. Dia bisa menerimanya.
Saat
matahari lebih berpihak ke arah barat, aku duduk termenung. Tanpa ku sadari ada
sosok yang menghampiriku. Langsung saja tanpa merasa berdosa dia duduk disampingku.
Tepat di sampingku tanpa ada celah dan ruang untuk cahaya bisa menembusnya.
Rafa. Ternyata Rafa. Tak hanya membuatku terkejut, kedatangannya pun membuat
suhu badanku meningkat. Tak sadar aku terus menatapnya tanpa mengucap sepatah
kata pun. Seakan bibirku dan bibirnya telah berkompromi untuk tidak
menghancurkan momen tatapan ini.
Peluh
yang keluar dari dahi perlahan mengalir dan menetes. Membentuk pola dijilbabku
yang berangsur sirna. Bersama dengan sirnanya pola itu terdengar suara sruputan
es dari meja sebelah yang memudarkan lamunan kami berdua. “Es tehnya dua,Bu!” kalimat
pertama Rafa saat itu sekaligus sebagai awal mulainya perbincangan kami. “ kamu
kok sendirian disini?” tanyanya. “ ih siapa bilang, ini aku sama kamu!” jawabku
mencoba mencairkan suasana. “Uh dasar! Bisa aja kamu!” jawabnya sambil menepuk
jidatku. “Aduh! Sakit tau!” keluhku. “Eh eh. Kok kamu demam sih? Kamu sakit?”
tanyanya serius. Tatapan mata Rafa menunjukkan betapa pedulinya dia kepadaku. Bukannya
membuat senang melainkan membuatku semakin gugup dan tak karuan. “ em nggak
kok, aku nggak apa-apa. Sakit ini anugrah dan rahmat dari Allah. Kamu tahu kan
kalau orang sedang sakit itu tandanya Allah sedang menghapus dosa-dosanya!”
jawabku dengan mencoba santai. “ eh dasar! Sakit kok anugrah! Kalau sakit itu
anugrah kenapa orang-orang mau sembuh dari sakitnya coba?” jawaban Rafa yang
menggelitik telingaku. Perbincangan kami terus berlanjut, tidak peduli es kami
habis atau pun dilihat banyak orang. Kami terus berbincang, tertawa bersama. Hingga
tiba saat pertannyannya merubah suasana. “Sarah! Kamu tahu nggak maksud kata BD
ini?” sambil memperlihatkan ponselnya. Dalam ponsel itu tertulis bahwa Rafa
telah mengirimkan sebuah ucapan selamat ulang tahun kepada seorang permpuan. Yang
kemudian perempuan tersebut membalasnya dengan ucapan terima kasih dan kata
terakir yang ditulis pada nama Rafa adalah BD. Tidak terfokus pada pertanyaan
Rafa tetapi aku malah berpikir siapa perempuan itu? Dan apa hubungannya dengan
Rafa? Seolah tahu isi pikiranku, belum sempat aku bertanya Rafa pun menjawab “ dia
guruku. Guru agamaku. Jangan cemburu gitu deh. Jelek tau!” Mendengar jawabanya
itu aku tersipu malu.
Kuamati
kembali tulisan itu, di situ tertulis ada kata suster. Dengan polosnya aku
bertanya “kok di sini kamu manggilnya suster sih? Bukannya suster itu perawat?
Katanya ini guru kamu?” Dengan santainya Rafa menjawab “ bukan suster perawat.
Haduh! Ini lho”. Sambil menunjukkan ponselnya kembali. Tetapi kali ini foto
seorang wanitalah yang ditunjukkannya. Aku sempat terkejut karena foto itu
terlihat seorang wanita dibalut baju putihmirip seperti biarawati yang sering
aku lihat di jalan saat menyebrang. Dengan bodohnya aku bertanya kembali “ dia
siapa? Kok kamu bisa kenal?” tidak menjawab Rafa hanya tersenyum dan menatapku.
Dari senyumannya itu membuat otakku bergerak, berpikir. Seketika suasana hatiku
tak menentu, pikiranku tidak ingin fokus pada hal yang ku maksudkan. Hati
serasa jatuh tapi tidak sampai menyentuh tanah. Aku tak kuasa untuk
menanyakannya, terlalu takut menerima kenyataan. Tapi harus kutanyakan.“ Rafa?
Boleh aku bertanya sesuatu, tapi berjanjilah jawab pertanyaanku dengan jujur!” tanyaku
serius. “ silahkan” jawab Rafa dengan tenangnya. “Apa kamu muslim? Rafa, uslim?”
tanpa sadar mataku berkaca-kaca menanyakannya. Berharap Rafa menjawab tidak
seperti yang aku pikirkan. “ kalau aku boleh jujur, aku ini tidak bisa shalat,
Sarah!” “maksud kamu?” mencoba memperjelas “ aku ini katolik, aku nasrani.
Sarah!” Mendengar jawaban Rafa, aku mulai melihat tembok besar, tembok yang
sangat tinggi dan tak berujung yang tidak bisa kami tembus. Dari tembok itu
kullihat ada sesosok Rafa melentangkan tangannya. Aku coba mendekati tapi tidak
pernah sampai.
Karena
suasana begitu buruk, badai kasat mata telah melanda. Kami pun pulang. Aku
duduk di balik jendela. Baru kali ini aku menatap senja dengan sendu. Merasa
bahwa jingga adalah pilu. Air mata yang hanya berdiam dan tidak bisa menetes
ini semakin membebaniku. Hari ini adalah hari di mana agama sebagai rahmat
sekaligus ujian untukku. Di satu sisi aku sangat mencintai Rafa namun di sisi
lain agama telah menuliskan dengan jelas akan larangan itu!
Kucoba
mengambil buku yang kemarin sempat aku baca. Mencoba mengalihkan perhatian. Ku
buka kembali buku itu. Membuka judul baru. Di mana Judul Fatimah dan Ali tidak
cocok untuk kisahku. Berharap menemukan ketenangan,namun malah tambahan
kepiluan yang kudapat. Sempat berpikiran bahwa kisah baru yang berjudul “ Kisah
Cinta Zainab Putri Rasulullah” ini mirip dengan kisahku. Yang mencintai seseorang
yang berbeda keyakinan. Namun, tidak! Beruntunglah Zainab karena dia seorang
putri Nabi, dan kisahnya pun dipersatukan lagi oleh agama. Lalu bagainama
denganku. Ya Allah. Apa ini? Aku pikir berpisahnya aku dan Feby adalah karena
ada Rafa yang lebih baik untuk menjadi imamku. Ya Allah. Andai saja Firmanmu
yang mengatakan bahwa bagiku agamaku dan bagimu agamamu berlaku untuk sebuah
pernikahan, sebuah hubungan. Akan kulanjutkan kisah ini. Namun, jika ini memang
ketentuanmu. Aku tak berdaya.
Dengan
mata yang sembab kubuka ponsel yang tadi berbunyi. Terlihat ada sebuah pesan
dari Rafa. “ apa kamu sedih?” begitu tulisnya. “ iya , Rafa. Tapi, semua akan
indah pada waktunya bukan!” Jawabku. “ kok kamu tahu?” tanyanya kembali. “
Tuhan tidak pernah salah” jawabku. “ mengapa?” tanyanya. “ karena aku percaya”
jawabku dengan penuh keyakinan. Setalah itu Rafa tidak menjawab lagi.
Andai
aku hidup di zaman Nabi, Andai saat itu aku adalah Zainab. Akan ku minta kepada
Ayah untuk menyatukanku pada suamiku meski kami berbeda keyakinan. Namun,
sekali lagi aku bukanlah Zainab. Aku hanya wanita akhir zaman berjubahkan
kesalahan. Dan Rafa adalah bukanlah bagian dari jubah itu, melainkan bagian
dari zaman yang memperlihatkan ciriku sebagai wanita akhir zaman yang sejati.
Zainab tidak bersalah, meskipun dialah orang pertama yang mempelopori cinta
berbeda agama. Kamilah yang bersalah. Tidak mau mempelajari itu semua sebagai
pengalaman dan pedoman. Tidak mudah memang menghilangkan rasa cinta. Tapi
inilah takdir-Nya. Aku percaya bahwa jika agama telah memisahkan jasad antara
kami, maka kami hanya akan bisa bersatu dan dipersatukan lagi oleh agama.
Dengan
berani ku hubungi Rafa kembali. Aku tidak ingin hanya karena ini kami
berjauhan. Perbedaan yang tidak bisa menyatukan kami dalam hubungan kekasih ini
tidak bisa menghalangi kami untuk menjalin hubungan lain. Hubungan
persahabatan. Kutulis sebuah pesan singkat kepadanya. Aku yang baru saja
mengetahui kenyataan memilukan ini begitu terpukul, apalagi Rafa yang sejak
awal mengetahuinya. Belum sempat kukirim pesanku, Rafa telah mengirim pesan
yang bertuliskan. “Percayalah, bagiku Tuhan itu satu. Semua agama sama. Hanya
adat kita yang berbeda!”. Akhirnya pesan yang telah kutulis tadi menjadi
balasan untuk pesannya. “ Jika kamu benar mencintaiku, mintalah aku kepada
Tuhanmu. Begitu pula dengan aku yang memintamu kepada Tuhanku. Meski keyakinan
dan cara berdoa kita berbeda. Setidaknya doa kita akan bertemu pada aamiin yang
sama.”
Oleh Meisaroh (16410049) 2B PBSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar