Senin, 25 Desember 2017

CERPEN REMAJA SEDERHANA | AMIN YANG SAMA


Contoh Cerpen Remaja 

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Bagi kalian yang mungkin bingung bagaimana membuat cerpen, mungkin kalian bisa baca dulu cerpen berikut ini! biar dapat pencerahan mau nulis apa gitu. hehehe!

Amin Yang Sama

Kini aku sadar bahwa potongan ayat itu tidak berlaku untuk sebuah pernikahan, sebuah hubungan rumah tangga. Siapa yang mengira bahwa semua akan seperti ini? Sebelum kejadian dua minggu lalu. Dan setelah  itu, semua terasa cepat berlalu meski harumnya masih semerbak memasuki ruang hatiku.
Pagi itu aku terbangun. Perlahan kuusap kedua mata bergantian kanan dan kiri. Bergegas kuberanjak dari singgasana kemudian pergi ke kamar mandi. “Sarah! Cepat bangun, sarapan dulu, Nak!” nyanyian wajib ibu setiap pagi. Ya, memang bila Shalatsubuh telah kutunaikan, aku akan tidur kembali hingga sinar matahari menembus jendela kecil kamarku dengan kemiringan yang tepat mengenai wajahku. Seakan Tuhan tak ingin aku melewatkan waktu untuk menikmati indahnya pagi. Namun, jika sinar itu tidak mampu membangunkanku, maka Tuhan telah mengirim cara lain untuk membuatku terbangun dengan membunyikan alarm alami yaitu suara ibu. “Iya, Ibu! Aku sudah bangun. Hari ini makan lauknya apa?” sambil mengambil segelas air putih. “Setiap mau makan selalu saja itu yang kamu tanyakan, bukannya bersyukur. Kamu itu anak perempuan, tidak baik bila setelahshalat subuh tidur lagi. Pamali, Nak!” seakan aku telah hafal akan ucapan ibu. “Hem”. Seperti biasa, kami, yaitu ibu, bapak, adik, dan aku selalu sarapan bersama, meskipun bersamanya kami bukan seperti makan bersamanya orang- orang di sinetron. Karena istana kami yang tidak luas, kami bisa makan bersama dimana saja senyaman kami, tidak perlu harus semeja besar dengan hiasan buah karet ditengah. Bapak dan ibu di dapur, sedang aku dan adik di depan TV. Hehe makan bersama. Hari ini kami libur akhir pekan kecuali bapak yang memang kerjanya tidak terpacu pada merah, hijau, kuning di kalender.
Saat liburan akhir pekan seperti ini, tidak ada sesuatu yang paling berharga untuk kulakukan selain tidur. Yang benar saja, dari Senin-Jum’at tak pernah rasanya aku bermanja dalam tidurku. Untuk itu akhir pekanlah yang cocok untuk meluapkan rinduku.Sebelum tidur, aku sempatkan diri untuk menata buku di sebuah rak- rak kecil yang kami sebut dengan perpustakaan mini keluarga. Kami memang tidak beruang tetapi untuk masalah ilmu pengetahuan orang tua kami selalu memberikan apa saja untuk kami bisa pandai dan sukses. Kalau hanya perpustakaan saja, hah! Kami punya. Satu per satu aku mulai merapikannya, memisahkannya sesuai jenisnya. Disela- sela aku menata, tiba- tiba ponselku berbunyi! Kulihat dilayar tertulis sebuah pesan dari Feby. “Aku ada di depan, keluarlah dan ajak aku masuk!” ehem entah apa maksudnya, tapi aku senang dia datang sekalian bisa membantuku untuk menata kembali buku-buku itu. Feby adalah teman kursusku, kami bertemu dalam forum kursus komputer. Awal bertemu, dia adalah lelaki yang manis, lucu, dan ramah kepada semua orang. Namun, setelah kami jauh saling mengenal dia tidak hanya ramah, tetapi juga bawel, menyebalkan, walau terkadang lucunya masih ada. Sambil menata, kami pun berbincang- bincang. Dalam perbincangan kami tidak ada yang begitu serius hingga pada akhirnya Feby membahas sebuah permasalahan yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu kasus penistaan agama. Aku memang sering mengikuti perkembangan kasus tersebut. Namun, rupanya pendapatku, pandanganku terhadap kasus tersebut sangat berbeda dengan Feby. Kami berdebat seolah hakim dan penuntut hukum yang selalu mengutarakan rasa keberatannya. Feby memang bukan anak kuliahan. Namun, dia tidak bodoh menutup hati, mata dan pikirannya untuk belajar. Menurut Feby tanpa kuliah kita tetap bisa belajar, melalui pengalaman, apa yang kita lihat, kita dengar. Ya, kegigihannya itulah yang membuatku kagum kepadanya. Perdebatan kamipun berlanjut. Hingga kami memutuskan untuk mencari sumber yang tepat untuk menguatkan argumen kami. Entah itu masalah hukum atau pun keagamaan, semuanya akan kami gali. Melihat buku- buku yang sebagian sudah tertata rapi, aku menemukan sesuatu. Sebuah buku yang sebenarnya tidak cocok untuk menguatkan pendapatku. Sampulnya cantik dan menarik. Buku itu berjudul “ Kisah kehidupan keluarga Nabi Muhammad”. Segera kutunjukkan buku tersebut pada Feby. “Lihatlah! Bukankah ini lucu?” Feby menatapku, dan segera menyahut buku itu membaca judulnya, kemudian “ kita ini mau cari bukti untuk menguatkan perdebatan kita, ini buku apa?” Sambil menarik hidungku. “Eh jangan salah! Siapa tahu di sini ada. Ya sudah kalau kamu tidak mau membacanya, biar aku saja. Bawa sini coba!” sambil merebut buku dari tangan Feby.
Faby terus mencoba mencari buku yang sesuai, sementara aku perlahan membuka lembaran dari buku yang menarik perhatianku tadi. Kulewati kata pengantar dan daftar isi. Di halaman satu tertulis “ Lahirnya Nabi Muhammad” dan kubaca, terus melewati halaman dua, tiga, dan empat hingga aku menemukan sebuah judul yang menarik untuk kubaca yaitu “ Cerita Cinta Nabi Muhammad dan Khadijah”. Menurut pemahamanku setelah membaca, Nabi Muhammad tetap bersedia menikahi Khadijah meski usia Khadijah jauh lebih tua dari beliau. Ehem, tak mau menyimpannya sendiri segera ku menceritakannya kepada Feby yang tampaknya sudah menemukan buku yang dicarinya. “Feby! Lihat ini! Kisahnya bagus, ternyata Khadijah lebih tua dari pada Nabi Muhammad lho!” “hemm aku sudah tau!”. Mendengar jawaban Feby aku memutuskan untuk melanjutkan bacaanku dari pada menanyainya lagi! Kubuka judul selanjutnya “ Kisah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib”. Ya memang dasar aku ini wanita yang selalu bersemangat dan sedikit baper akan ceritanya. Aku pun bercerita kepada Feby lagi. Dan lagi- lagi dia menjawab dengan jawaban yang tidak berbeda dengan sedikit tambahan “apa kamu pernah membaca atau mendengar kisah cinta yang mengharukan antara Yusuf dan Zulaikha?” tanyanya. “ belum, hanya sekedar tahu saja bahwa cinta mereka tidak tersampaikan!”. “Payah! Begini ceritanya. . .”. Feby pun mulai bercerita tentang kisah Yusuf dan Zulaika hingga dia lupa akan perdebatan penistaan agama dan perlahan kututup buku bacaanku yang berakhir pada kisah Fatimah dan Ali.
Waktu terus berjalan akibat rotasi bumi yang terjadi. Saatnya aku berangkat ke kampus. Tak ada yang berbeda, semua tampak seperti biasa. Pohon-pohon rindang saling bersahutan. Berlomba-lomba untuk mengeluarkan tiupan terbaik, sehingga tercipta suasana nyaman dan penuh kesejukan. Siapa diantaranya menjadi pemenang, di situlah mahasiswa bersama atau pun berdua sejenak berdiam, membaca buku, beristirahat, ada pula yang sangat fokus lihai dalam membaca situasi. Hahaha. Generasi muda zaman sekarang semua ahli membaca situasi. Itu bagus! Mengabaikan semua itu aku pun melanjutkan perjalanan. Menaiki berpuluh-puluh anak tangga. Hingga tibalah aku disebuah ruangan yang tidak asing lagi, yaitu tempat kami untuk melakukan perkuliahan tentunya. Di kelas aku mempunyai seorang teman yang sangat dekat denganku. Dia berbeda dengan kebanyakan lelaki seusianya yang kini mulai meniru gaya kebarat-baratan. Namanya Rafa. Rafa sangat menghormati perkembangan zaman, dia tidak menolaknya namun dia juga tidak melupakan adatnya. Rafa suka sekali dengan adat jawa. Baik lagunya, alat musiknya, tutur katanya. Semua dia pelajari dengan baik. Mungkin itu pula yang membuatku tertarik kepanya. Kami sangat dekat. Bila mengingat cerita yang kemarin aku baca. Kami ini seperti Fatimah dan Ali yang diam-diam saling mencintai. Suatu ketika Rafa bertanya kepadaku tentang Feby. Sepertinya dia cemburu karena dirumah aku sering terlihat bersama Feby. Ya memang Feby dulunya adalah bagian terpenting dalam hidupku. Dia pernah mengisi hatiku. Namun, kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut agar kami bisa belajar memahami kehidupan untuk nantinya bisa menjalankan sebuah komitmen bersama. Ku jelaskan semuanya pada Rafa. Dia bisa menerimanya.
Saat matahari lebih berpihak ke arah barat, aku duduk termenung. Tanpa ku sadari ada sosok yang menghampiriku. Langsung saja tanpa merasa berdosa dia duduk disampingku. Tepat di sampingku tanpa ada celah dan ruang untuk cahaya bisa menembusnya. Rafa. Ternyata Rafa. Tak hanya membuatku terkejut, kedatangannya pun membuat suhu badanku meningkat. Tak sadar aku terus menatapnya tanpa mengucap sepatah kata pun. Seakan bibirku dan bibirnya telah berkompromi untuk tidak menghancurkan momen tatapan ini.
Peluh yang keluar dari dahi perlahan mengalir dan menetes. Membentuk pola dijilbabku yang berangsur sirna. Bersama dengan sirnanya pola itu terdengar suara sruputan es dari meja sebelah yang memudarkan lamunan kami berdua. “Es tehnya dua,Bu!” kalimat pertama Rafa saat itu sekaligus sebagai awal mulainya perbincangan kami. “ kamu kok sendirian disini?” tanyanya. “ ih siapa bilang, ini aku sama kamu!” jawabku mencoba mencairkan suasana. “Uh dasar! Bisa aja kamu!” jawabnya sambil menepuk jidatku. “Aduh! Sakit tau!” keluhku. “Eh eh. Kok kamu demam sih? Kamu sakit?” tanyanya serius. Tatapan mata Rafa menunjukkan betapa pedulinya dia kepadaku. Bukannya membuat senang melainkan membuatku semakin gugup dan tak karuan. “ em nggak kok, aku nggak apa-apa. Sakit ini anugrah dan rahmat dari Allah. Kamu tahu kan kalau orang sedang sakit itu tandanya Allah sedang menghapus dosa-dosanya!” jawabku dengan mencoba santai. “ eh dasar! Sakit kok anugrah! Kalau sakit itu anugrah kenapa orang-orang mau sembuh dari sakitnya coba?” jawaban Rafa yang menggelitik telingaku. Perbincangan kami terus berlanjut, tidak peduli es kami habis atau pun dilihat banyak orang. Kami terus berbincang, tertawa bersama. Hingga tiba saat pertannyannya merubah suasana. “Sarah! Kamu tahu nggak maksud kata BD ini?” sambil memperlihatkan ponselnya. Dalam ponsel itu tertulis bahwa Rafa telah mengirimkan sebuah ucapan selamat ulang tahun kepada seorang permpuan. Yang kemudian perempuan tersebut membalasnya dengan ucapan terima kasih dan kata terakir yang ditulis pada nama Rafa adalah BD. Tidak terfokus pada pertanyaan Rafa tetapi aku malah berpikir siapa perempuan itu? Dan apa hubungannya dengan Rafa? Seolah tahu isi pikiranku, belum sempat aku bertanya Rafa pun menjawab “ dia guruku. Guru agamaku. Jangan cemburu gitu deh. Jelek tau!” Mendengar jawabanya itu aku tersipu malu.
Kuamati kembali tulisan itu, di situ tertulis ada kata suster. Dengan polosnya aku bertanya “kok di sini kamu manggilnya suster sih? Bukannya suster itu perawat? Katanya ini guru kamu?” Dengan santainya Rafa menjawab “ bukan suster perawat. Haduh! Ini lho”. Sambil menunjukkan ponselnya kembali. Tetapi kali ini foto seorang wanitalah yang ditunjukkannya. Aku sempat terkejut karena foto itu terlihat seorang wanita dibalut baju putihmirip seperti biarawati yang sering aku lihat di jalan saat menyebrang. Dengan bodohnya aku bertanya kembali “ dia siapa? Kok kamu bisa kenal?” tidak menjawab Rafa hanya tersenyum dan menatapku. Dari senyumannya itu membuat otakku bergerak, berpikir. Seketika suasana hatiku tak menentu, pikiranku tidak ingin fokus pada hal yang ku maksudkan. Hati serasa jatuh tapi tidak sampai menyentuh tanah. Aku tak kuasa untuk menanyakannya, terlalu takut menerima kenyataan. Tapi harus kutanyakan.“ Rafa? Boleh aku bertanya sesuatu, tapi berjanjilah jawab pertanyaanku dengan jujur!” tanyaku serius. “ silahkan” jawab Rafa dengan tenangnya. “Apa kamu muslim? Rafa, uslim?” tanpa sadar mataku berkaca-kaca menanyakannya. Berharap Rafa menjawab tidak seperti yang aku pikirkan. “ kalau aku boleh jujur, aku ini tidak bisa shalat, Sarah!” “maksud kamu?” mencoba memperjelas “ aku ini katolik, aku nasrani. Sarah!” Mendengar jawaban Rafa, aku mulai melihat tembok besar, tembok yang sangat tinggi dan tak berujung yang tidak bisa kami tembus. Dari tembok itu kullihat ada sesosok Rafa melentangkan tangannya. Aku coba mendekati tapi tidak pernah sampai.
Karena suasana begitu buruk, badai kasat mata telah melanda. Kami pun pulang. Aku duduk di balik jendela. Baru kali ini aku menatap senja dengan sendu. Merasa bahwa jingga adalah pilu. Air mata yang hanya berdiam dan tidak bisa menetes ini semakin membebaniku. Hari ini adalah hari di mana agama sebagai rahmat sekaligus ujian untukku. Di satu sisi aku sangat mencintai Rafa namun di sisi lain agama telah menuliskan dengan jelas akan larangan itu!
Kucoba mengambil buku yang kemarin sempat aku baca. Mencoba mengalihkan perhatian. Ku buka kembali buku itu. Membuka judul baru. Di mana Judul Fatimah dan Ali tidak cocok untuk kisahku. Berharap menemukan ketenangan,namun malah tambahan kepiluan yang kudapat. Sempat berpikiran bahwa kisah baru yang berjudul “ Kisah Cinta Zainab Putri Rasulullah” ini mirip dengan kisahku. Yang mencintai seseorang yang berbeda keyakinan. Namun, tidak! Beruntunglah Zainab karena dia seorang putri Nabi, dan kisahnya pun dipersatukan lagi oleh agama. Lalu bagainama denganku. Ya Allah. Apa ini? Aku pikir berpisahnya aku dan Feby adalah karena ada Rafa yang lebih baik untuk menjadi imamku. Ya Allah. Andai saja Firmanmu yang mengatakan bahwa bagiku agamaku dan bagimu agamamu berlaku untuk sebuah pernikahan, sebuah hubungan. Akan kulanjutkan kisah ini. Namun, jika ini memang ketentuanmu. Aku tak berdaya.
Dengan mata yang sembab kubuka ponsel yang tadi berbunyi. Terlihat ada sebuah pesan dari Rafa. “ apa kamu sedih?” begitu tulisnya. “ iya , Rafa. Tapi, semua akan indah pada waktunya bukan!” Jawabku. “ kok kamu tahu?” tanyanya kembali. “ Tuhan tidak pernah salah” jawabku. “ mengapa?” tanyanya. “ karena aku percaya” jawabku dengan penuh keyakinan. Setalah itu Rafa tidak menjawab lagi.
Andai aku hidup di zaman Nabi, Andai saat itu aku adalah Zainab. Akan ku minta kepada Ayah untuk menyatukanku pada suamiku meski kami berbeda keyakinan. Namun, sekali lagi aku bukanlah Zainab. Aku hanya wanita akhir zaman berjubahkan kesalahan. Dan Rafa adalah bukanlah bagian dari jubah itu, melainkan bagian dari zaman yang memperlihatkan ciriku sebagai wanita akhir zaman yang sejati. Zainab tidak bersalah, meskipun dialah orang pertama yang mempelopori cinta berbeda agama. Kamilah yang bersalah. Tidak mau mempelajari itu semua sebagai pengalaman dan pedoman. Tidak mudah memang menghilangkan rasa cinta. Tapi inilah takdir-Nya. Aku percaya bahwa jika agama telah memisahkan jasad antara kami, maka kami hanya akan bisa bersatu dan dipersatukan lagi oleh agama.
Dengan berani ku hubungi Rafa kembali. Aku tidak ingin hanya karena ini kami berjauhan. Perbedaan yang tidak bisa menyatukan kami dalam hubungan kekasih ini tidak bisa menghalangi kami untuk menjalin hubungan lain. Hubungan persahabatan. Kutulis sebuah pesan singkat kepadanya. Aku yang baru saja mengetahui kenyataan memilukan ini begitu terpukul, apalagi Rafa yang sejak awal mengetahuinya. Belum sempat kukirim pesanku, Rafa telah mengirim pesan yang bertuliskan. “Percayalah, bagiku Tuhan itu satu. Semua agama sama. Hanya adat kita yang berbeda!”. Akhirnya pesan yang telah kutulis tadi menjadi balasan untuk pesannya. “ Jika kamu benar mencintaiku, mintalah aku kepada Tuhanmu. Begitu pula dengan aku yang memintamu kepada Tuhanku. Meski keyakinan dan cara berdoa kita berbeda. Setidaknya doa kita akan bertemu pada aamiin yang sama.”



                                                         Oleh Meisaroh (16410049) 2B PBSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar