Senin, 25 Desember 2017

CATATAN PERJALANAN DI KOTA TIONGKOK KECIL HERITAGE

Destinasi Wisata Kota Tiongkok Kecil Heritage Di Kota Santri Lasem


Berbicara tentang hidup dan kehidupan tidak akan lepas kaitannya dengan persoalan dunia dan akhirat. Dunia yang menyajikan segala bayangan tentang suatu hal yang indah dan selalu diharapkan, mesikipun pada akhirnya dunia akan ditinggalakan. Sedangkan akhirat adalah sesuatu yang terlupakan tetapi akan menjadi tujuan. Dalam kehidupan kita memiliki budaya. Kita berbudaya! Sebuah budaya terbentuk karena suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut lahir karena masyarakat sekitar terus mengulang suatu kebiasaan yang sama hingga membudaya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda di sebuah kota kecil Lasem. Lasem merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam lingkup kabupaten Rembang. Kota kecil tersebut telah dikenal luas dengan berbagai sebutan, seperti, Kota Batik, Kota Seribu Santri, Kota Tiongkok kecil Heritage. Bila dilihat dari sebutan yang dimiliki, elemen yang terkandung dalam sebutan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti halnya Kota Seribu Santri dengan Kota Tiongkok Kecil Heritage. Lalu mengapa keduanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suatu lingkungan yang tidak begitu luas secara rukun dan damai. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menjelajahi kota kecil ini.
Minggu lalu, tepatnya pada hari Sabtu, 2 Desember 2017, saya berseta teman saya Riska Villa Sari memutuskan untuk mengobati rasa penasaran kami akan kota kecil yang menurut kami unik ini. Perjalan kami tempuh selama kurang lebih tiga setengah jam dengan menaiki bus antarkota Semarang- Surabaya ber- AC dengan tarif biasa, yaitu 22 ribu rupiah. Kami memutuskan untuk berangkat pada saat matahari masih malu menampakkan sinarnya, sekitar pukul 04.30 dari Terminal Terboyo Semarang dan sampai di Lasem pada pukul 07.40. Kami memilih untuk berangakat di pagi hari agar kami mempunyai waktu yang panjang untuk menjelajahi seluk beluk kota ini.
Ketika memasuki kota Lasem, satu hal menarik telah saya dapati. Hamparan luas sawah garam menyapa kami pagi itu. Burung-burung yang menari diatasnya semakin memperindah pemandangan. Ketika mata ini mengarah ke depan, terlihat deretan bukit yang panjang membentang biru. Saya bertanya kepada salah seorang di samping saya yang kebetulan dia adalah orang Rembang, Mas Sugeng namanya. “ itu masih termasuk bagian dari daerah Lasem, Mbak! Tetapi bukan semua, hanya sebagian. Namun, dari ujung sana samapai ujung sana, semua itu masih termasuk wilayah Rembang” terangnya.
Saya semakin penasaran akan kota ini. Terlebih lagi ketika mas Sugeng menegaskan kembali jika kita berada di pantai, kita bisa melihat gunung, dan ketika kita digunung kita bisa melihat pantai. Sejujurnya itu adalah pernyataan yang cukup menngelitik pikiran dan telinga. Namun, ketika saya renungkan ternyata benar, karena tidak semua tempat yang mempunyai gunung tinggi, kita bisa melihat laut dari atasnya ataupun sebaliknya. Ini salah satu keunikan yang kami temukan.
Setibanya di Lasem, kami menginap di sebuah Home stay ( penginapan ) yang cukup unik. Bukan seperti penginapan yang lain. Namun, penginapan ini telah menunjukkan keunikan kota Lasem sebagai Kota Tiongkok Kecil Heritage. Bagaimana tidak? Penginapan yang kami tempati adalah salah satu bangunan etnis tionghoa yang dimodifikasi dan digunakan sebagai tempat penginapan yang unik sesuai dengan ciri khas kota Lasem. Ketika dalam perjalanan menuju penginapan tersebut, kami disuguhi dengan deretan tembok putih permanen yang memanjang dan menjulang tinggi mengelilingi rumah- rumah warga. Setelah saya bertanya, ternyata tembok tersebut adalah tembok yang mengelilingi rumah- rumah warga etnis tionghoa. Bentuk rumah mereka tidak terlihat dari luar. Gerbang masuknya pun tidak terlalu lebar, dan terbuat dari kayu.
Sesampainya di penginapan, saya melihat ada nuansa yang berbeda. Bangunannya merah, dan diselingi warna- warna lain seperti kuning, jingga, putih. Ternyata itulah penginapan yang akan kami tempati untuk bermalam di Kota Lasem. Omah Abang, itulah nama penginapan tersebut. Terletak di salah satu kampung pecinan yang ada di Lasem, yaitu Desa Karang Turi—saya katakan salah satu kampung pecinan karena ada banyak kampung pecinan di sini, yaitu di Desa Karang turi, Desa Babagan, dan Desa Soditan. Sungguh saya merasa takjub. Arsitektur bangunannya sungguh kental sekali dengan ciri khas tionghoa, dari pewarnaan bangunannya, detail pernak- perniknya seperti lampion dan makan menggunakan sumpit, hingga properti yang disediakan sangatlah kental dengan nuansa tionghoa.
Bukan sekadar menyediakan fasilitas untuk menginap. Namun, di sini juga terdapat warung- warung yang menyediakan makanan khas Lasem- Rembang, yaitu; sate serepeh, lontong tuyuhan, serta buah kawis dan sirup Kawista. Dan pada malam harinya pemandangan di Omah Abang semakin bagus yang dipercantik dengan lampion- lampion yang dinyalakan.
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat bersejarah di Lasem, yaitu Lawang Ombo yang terletak di desa Soditan. Dalam sejarahnya Lawang ombo ini merupakan rumah seorang saudagar kaya dari tionghoa yang menetap di Lasem. Yang membuat sejarah Lawang Ombo ini berbeda dari rumah yang lainnya adalah adanya lubang rahasia yang menggubungkan langsung rumah tersebut dengan sungai yang ada di seberang jalan. Lubang tersebut cukup panjang, melewati Klenteng yang ada di belakang rumah tersebut. Diametenya tidak terlalu lebar. Hanya seukuran tubuh orang dewasa saja. Dan diameter terowongan dari lubang dalam rumah menuju ke sungai hanya mampu dilewati oleh perhu kecil saja.
Dari informasi yang saya dapat, terowongan ini digunakan untuk akses ilegal jual beli sabu- sabu. Berkilo- kilo gram sabu dapat dengan aman masuk ke dalam rumah ini. Dahulu, rumah ini sempat ditutup untuk umum. Dan masyarakat luas mempunyai anggapan bahwa Lawang Ombo ini adalah tempat yang angker. Di sini sempat di jadikan sebagai objek uji nyali dalam acara uji nyali pada salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.
Perjalanan kami lanjutkan menuju ke wisata religi islami yang ada di Lasem. Tujuan pertama adalah Masjid Jami’ Lasem. Sama halnya dengan masjid lainnya. Yang menarik di sini adalah makam- makam yang berjejer rapi di belakang masjid. Makam yang indah ini merupakan makam dari tokoh- tokoh islam yang berpengaruh di Lasem, seperti Eyang Sambu yang pada hari hari wafatnya selalu diadakan pagelaran atau acara untuk mengenangnya.
Setelah saya teliti lagi, ternyata tempat penginapan yang saya tempati terletak tidak jauh dari lokasi Masjid Jami’ ini. Sedangkan pada sisi lainnya. Banyak sekali pondok pesantren berdiri tegak dan kokoh di Lasem. Mungkin inilah alasan mengapa Lasem dijuluki sebagai Kota Seribu Santri. Banyak anak- anak dari luar daerah yang berbondong- bondong ke Lasem hanya untuk belajar menggali ilmu islami. Tercatat ada lima pondok pesantren besar ada di sini.
Dilihat dari lokasinya antara kampung pecinan dan pondok pesantren yang tersebar jaraknya sangat berdekatan. Bahkan terdapat satu pondok pesantren yang didirikan di area kampung pecinan. Ini adalah salah satu akulturasi budaya yang cukup menarik.
Tujuan berikutnya adalah Makam Sunan Bonang. Memang perhelatan mengenai di mana sebenarnya makam Sunan Bonang berada sangat sulit untuk dicari kebenarannya. Namun, terlepas dari semua itu, konon makam yang ada di sini hanyalah makan surbannya Sunan Bonang saja.
Di sana terdapat sebuah anak tangga yang cukup panjang. Di sana pula saya mendapati sebuah batu besar yang di permukaannya terdapat pola telapak tangan. Konon telapak tangan tersebut adalah telapak tangan Sunan Bonang dan batu tersebut adalah alas yang sering digunakan Sunan Bonang untuk beribadah. Selain itu ada pula makam Putri Cempa. Pertanyaan saya di sini adalah siapakah Putri Cempa itu?
Dari cerita pak Abdul, seorang penjual es kelapa muda di sana, ada cerita menarik tentang makam Putri Cempa, tentang mengapa makam Putri Cempa bisa berada daerah makam Sunan Bonang! Dikisahkan Putri Cempa adalah seorang wanita etnis tionghoa yang jatuh cinta kepada Sunan Bonang. Cintanya tidak terbalaskan, dia ditinggalkan oleh Sunan Bonang hingga dia meninggal dan di makamlan di sana. Dari cerita tersebut muncullah sebuah kepercayaan dari warga setempat bahwa barang siapa yang berkunjung di tempat tersebut dengan mengajak kekasihnya—pacarnya ( bukan istri/ suami ), maka hubungan mereka akan putus ditengah jalan seperti yang dialami Putri Cempa dan Sunan Bonang. Dan ternyata dahulunya kota Lasem ini adalah tempat yang digunakan untuk berlabuh Sam Po Kong dengan legendanya yang terkenal bersma Sunan Bonang yaitu pada kisah awal mula terciptanya Watu Layar. Kedua kebudayaan tersebut masih terbawa dan terjaga dengan baik. Keduanya sama- sama berkembang dan semakin kuat tanpa merusak satu sama lain.
Saya rasa tidak akan cukup waktu saya untuk menuliskan lebih banyak lagi tentang keunikan bagaimana bisa Kota Tiongkok Kecil Heritege ini berada di dalam Kota Santri. Hal ini menandakan bahwa toleransi antarwarga Lasem sangatlah tinggi dan patut kita contoh sebagai pedoman hidup untuk hidup di dalam negara Indonesia yang beragam budaya ini.
Sebenarnya, perjalanan saya dan teman saya tidak berakhir hanya pada Makam Sunan Bonang saja. Masih banyak tempat menarik yang kami kunjungi di Lasem ini. Namun, karena bahasan saya kali ini adalah kota tiongkok kecil heritage yang berada di kota seribu santri maka saya cukupkan sampai di sini. Semoga pengalaman saya dapat bermanfaat bagi kalian untuk dijadikan pertimbangan ketika mengunjungi kota Lasem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar