Berbicara
tentang hidup dan kehidupan tidak akan lepas kaitannya dengan persoalan dunia
dan akhirat. Dunia yang menyajikan segala bayangan tentang suatu hal yang indah
dan selalu diharapkan, mesikipun pada akhirnya dunia akan ditinggalakan.
Sedangkan akhirat adalah sesuatu yang terlupakan tetapi akan menjadi tujuan.
Dalam kehidupan kita memiliki budaya. Kita berbudaya! Sebuah budaya terbentuk
karena suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut lahir karena masyarakat sekitar
terus mengulang suatu kebiasaan yang sama hingga membudaya.
Namun,
ada sesuatu yang berbeda di sebuah kota kecil Lasem. Lasem merupakan salah satu
kecamatan yang berada dalam lingkup kabupaten Rembang. Kota kecil tersebut
telah dikenal luas dengan berbagai sebutan, seperti, Kota Batik, Kota Seribu
Santri, Kota Tiongkok kecil Heritage. Bila dilihat dari sebutan yang dimiliki,
elemen yang terkandung dalam sebutan tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda satu dengan yang lain. Seperti halnya Kota Seribu Santri dengan Kota
Tiongkok Kecil Heritage. Lalu mengapa keduanya bisa tumbuh dan berkembang
dengan baik dalam suatu lingkungan yang tidak begitu luas secara rukun dan
damai. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menjelajahi kota kecil ini.
Minggu
lalu, tepatnya pada hari Sabtu, 2 Desember 2017, saya berseta teman saya Riska
Villa Sari memutuskan untuk mengobati rasa penasaran kami akan kota kecil yang
menurut kami unik ini. Perjalan kami tempuh selama kurang lebih tiga setengah
jam dengan menaiki bus antarkota Semarang- Surabaya ber- AC dengan tarif biasa,
yaitu 22 ribu rupiah. Kami memutuskan untuk berangkat pada saat matahari masih
malu menampakkan sinarnya, sekitar pukul 04.30 dari Terminal Terboyo Semarang
dan sampai di Lasem pada pukul 07.40. Kami memilih untuk berangakat di pagi
hari agar kami mempunyai waktu yang panjang untuk menjelajahi seluk beluk kota
ini.
Ketika
memasuki kota Lasem, satu hal menarik telah saya dapati. Hamparan luas sawah
garam menyapa kami pagi itu. Burung-burung yang menari diatasnya semakin
memperindah pemandangan. Ketika mata ini mengarah ke depan, terlihat deretan
bukit yang panjang membentang biru. Saya bertanya kepada salah seorang di
samping saya yang kebetulan dia adalah orang Rembang, Mas Sugeng namanya. “ itu
masih termasuk bagian dari daerah Lasem, Mbak! Tetapi bukan semua, hanya
sebagian. Namun, dari ujung sana samapai ujung sana, semua itu masih termasuk wilayah
Rembang” terangnya.
Saya
semakin penasaran akan kota ini. Terlebih lagi ketika mas Sugeng menegaskan
kembali jika kita berada di pantai, kita bisa melihat gunung, dan ketika kita
digunung kita bisa melihat pantai. Sejujurnya itu adalah pernyataan yang cukup
menngelitik pikiran dan telinga. Namun, ketika saya renungkan ternyata benar,
karena tidak semua tempat yang mempunyai gunung tinggi, kita bisa melihat laut
dari atasnya ataupun sebaliknya. Ini salah satu keunikan yang kami temukan.
Setibanya
di Lasem, kami menginap di sebuah Home
stay ( penginapan ) yang cukup unik. Bukan seperti penginapan yang lain.
Namun, penginapan ini telah menunjukkan keunikan kota Lasem sebagai Kota
Tiongkok Kecil Heritage. Bagaimana tidak? Penginapan yang kami tempati adalah
salah satu bangunan etnis tionghoa yang dimodifikasi dan digunakan sebagai
tempat penginapan yang unik sesuai dengan ciri khas kota Lasem. Ketika dalam
perjalanan menuju penginapan tersebut, kami disuguhi dengan deretan tembok
putih permanen yang memanjang dan menjulang tinggi mengelilingi rumah- rumah
warga. Setelah saya bertanya, ternyata tembok tersebut adalah tembok yang
mengelilingi rumah- rumah warga etnis tionghoa. Bentuk rumah mereka tidak
terlihat dari luar. Gerbang masuknya pun tidak terlalu lebar, dan terbuat dari
kayu.
Sesampainya
di penginapan, saya melihat ada nuansa yang berbeda. Bangunannya merah, dan
diselingi warna- warna lain seperti kuning, jingga, putih. Ternyata itulah
penginapan yang akan kami tempati untuk bermalam di Kota Lasem. Omah Abang, itulah
nama penginapan tersebut. Terletak di salah satu kampung pecinan yang ada di
Lasem, yaitu Desa Karang Turi—saya katakan salah satu kampung pecinan karena
ada banyak kampung pecinan di sini, yaitu di Desa Karang turi, Desa Babagan,
dan Desa Soditan. Sungguh saya merasa takjub. Arsitektur bangunannya sungguh
kental sekali dengan ciri khas tionghoa, dari pewarnaan bangunannya, detail
pernak- perniknya seperti lampion dan makan menggunakan sumpit, hingga properti
yang disediakan sangatlah kental dengan nuansa tionghoa.
Bukan
sekadar menyediakan fasilitas untuk menginap. Namun, di sini juga terdapat
warung- warung yang menyediakan makanan khas Lasem- Rembang, yaitu; sate
serepeh, lontong tuyuhan, serta buah kawis dan sirup Kawista. Dan pada malam
harinya pemandangan di Omah Abang semakin bagus yang dipercantik dengan
lampion- lampion yang dinyalakan.
Keesokan
harinya, kami memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat bersejarah di Lasem,
yaitu Lawang Ombo yang terletak di desa Soditan. Dalam sejarahnya Lawang ombo
ini merupakan rumah seorang saudagar kaya dari tionghoa yang menetap di Lasem.
Yang membuat sejarah Lawang Ombo ini berbeda dari rumah yang lainnya adalah
adanya lubang rahasia yang menggubungkan langsung rumah tersebut dengan sungai
yang ada di seberang jalan. Lubang tersebut cukup panjang, melewati Klenteng
yang ada di belakang rumah tersebut. Diametenya tidak terlalu lebar. Hanya
seukuran tubuh orang dewasa saja. Dan diameter terowongan dari lubang dalam
rumah menuju ke sungai hanya mampu dilewati oleh perhu kecil saja.
Dari
informasi yang saya dapat, terowongan ini digunakan untuk akses ilegal jual
beli sabu- sabu. Berkilo- kilo gram sabu dapat dengan aman masuk ke dalam rumah
ini. Dahulu, rumah ini sempat ditutup untuk umum. Dan masyarakat luas mempunyai
anggapan bahwa Lawang Ombo ini adalah tempat yang angker. Di sini sempat di
jadikan sebagai objek uji nyali dalam acara uji nyali pada salah satu stasiun
televisi swasta di Indonesia.
Perjalanan
kami lanjutkan menuju ke wisata religi islami yang ada di Lasem. Tujuan pertama
adalah Masjid Jami’ Lasem. Sama halnya dengan masjid lainnya. Yang menarik di
sini adalah makam- makam yang berjejer rapi di belakang masjid. Makam yang
indah ini merupakan makam dari tokoh- tokoh islam yang berpengaruh di Lasem,
seperti Eyang Sambu yang pada hari hari wafatnya selalu diadakan pagelaran atau
acara untuk mengenangnya.
Setelah
saya teliti lagi, ternyata tempat penginapan yang saya tempati terletak tidak
jauh dari lokasi Masjid Jami’ ini. Sedangkan pada sisi lainnya. Banyak sekali
pondok pesantren berdiri tegak dan kokoh di Lasem. Mungkin inilah alasan
mengapa Lasem dijuluki sebagai Kota Seribu Santri. Banyak anak- anak dari luar
daerah yang berbondong- bondong ke Lasem hanya untuk belajar menggali ilmu
islami. Tercatat ada lima pondok pesantren besar ada di sini.
Dilihat
dari lokasinya antara kampung pecinan dan pondok pesantren yang tersebar
jaraknya sangat berdekatan. Bahkan terdapat satu pondok pesantren yang
didirikan di area kampung pecinan. Ini adalah salah satu akulturasi budaya yang
cukup menarik.
Tujuan
berikutnya adalah Makam Sunan Bonang. Memang perhelatan mengenai di mana
sebenarnya makam Sunan Bonang berada sangat sulit untuk dicari kebenarannya.
Namun, terlepas dari semua itu, konon makam yang ada di sini hanyalah makan
surbannya Sunan Bonang saja.
Di
sana terdapat sebuah anak tangga yang cukup panjang. Di sana pula saya
mendapati sebuah batu besar yang di permukaannya terdapat pola telapak tangan.
Konon telapak tangan tersebut adalah telapak tangan Sunan Bonang dan batu
tersebut adalah alas yang sering digunakan Sunan Bonang untuk beribadah. Selain
itu ada pula makam Putri Cempa. Pertanyaan saya di sini adalah siapakah Putri
Cempa itu?
Dari
cerita pak Abdul, seorang penjual es kelapa muda di sana, ada cerita menarik
tentang makam Putri Cempa, tentang mengapa makam Putri Cempa bisa berada daerah
makam Sunan Bonang! Dikisahkan Putri Cempa adalah seorang wanita etnis tionghoa
yang jatuh cinta kepada Sunan Bonang. Cintanya tidak terbalaskan, dia
ditinggalkan oleh Sunan Bonang hingga dia meninggal dan di makamlan di sana.
Dari cerita tersebut muncullah sebuah kepercayaan dari warga setempat bahwa
barang siapa yang berkunjung di tempat tersebut dengan mengajak
kekasihnya—pacarnya ( bukan istri/ suami ), maka hubungan mereka akan putus
ditengah jalan seperti yang dialami Putri Cempa dan Sunan Bonang. Dan ternyata
dahulunya kota Lasem ini adalah tempat yang digunakan untuk berlabuh Sam Po
Kong dengan legendanya yang terkenal bersma Sunan Bonang yaitu pada kisah awal
mula terciptanya Watu Layar. Kedua kebudayaan tersebut masih terbawa dan
terjaga dengan baik. Keduanya sama- sama berkembang dan semakin kuat tanpa
merusak satu sama lain.
Saya
rasa tidak akan cukup waktu saya untuk menuliskan lebih banyak lagi tentang
keunikan bagaimana bisa Kota Tiongkok Kecil Heritege ini berada di dalam Kota
Santri. Hal ini menandakan bahwa toleransi antarwarga Lasem sangatlah tinggi
dan patut kita contoh sebagai pedoman hidup untuk hidup di dalam negara
Indonesia yang beragam budaya ini.
Sebenarnya,
perjalanan saya dan teman saya tidak berakhir hanya pada Makam Sunan Bonang
saja. Masih banyak tempat menarik yang kami kunjungi di Lasem ini. Namun,
karena bahasan saya kali ini adalah kota tiongkok kecil heritage yang berada di
kota seribu santri maka saya cukupkan sampai di sini. Semoga pengalaman saya
dapat bermanfaat bagi kalian untuk dijadikan pertimbangan ketika mengunjungi
kota Lasem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar